Setiap jamaah yang berangkat umroh atau haji khusus Call/Wa. 08111-34-1212 pasti menginginkan perjalanan ibadah haji plus atau umrohnya bisa terlaksana dengan lancar, nyaman dan aman sehingga menjadi mabrur. Demi mewujudkan kami sangat memahami keinginan para jamaah sehingga merancang program haji onh plus dan umroh dengan tepat. Jika anda ingin melaksanakan Umrah dan Haji dengan tidak dihantui rasa was-was dan serta ketidakpastian, maka Alhijaz Indowisata Travel adalah solusi sebagai biro perjalanan anda yang terbaik dan terpercaya.?agenda umroh 12 hari
Biro Perjalanan Haji dan Umrah yang memfokuskan diri sebagai biro perjalanan yang bisa menjadi sahabat perjalanan ibadah Anda, yang sudah sangat berpengalaman dan dipercaya sejak tahun 2010, mengantarkan tamu Allah minimal 5 kali dalam sebulan ke tanah suci tanpa ada permasalahan. Paket yang tersedia sangat beragam mulai paket umroh 9 hari, 12 hari, umroh wisata muslim turki, dubai, aqso. Biaya umroh murah yang sudah menggunakan rupiah sehingga jamaah tidak perlu repot dengan nilai tukar kurs asing. umroh 12 hari surabaya
Pria Aneh Di Dunia
Orang-orang ini dikenal karena memiliki kebiasaan aneh ataupun
kejadian unik yang dialaminya. Mulai dari orang yang tidak pernah tidur selama 30 tahun lebih!
Ada pula pria yang punya kebiasaan aneh, yakni memakan benda-benda yang secara normal tak bisa
dicerna tubuh manusia. Misalnya, sepeda, televisi, hingga pesawat Cessna 150. Astaga!
Berikut 6 pria paling aneh di muka bumi seperti dirangkum dari dari berbagai sumber:
1. Thai Ngoc, tidak tidur 30 tahun lebih
Pria Vietnam ini tak bisa tidur sejak
menderita demam pada tahun 1973. Menurut media Vietnam, Thanh Nien, dia mengklaim tak pernah
tidur selama 33 tahun. Selama itu, Thai Ngoc atau Hai Ngoc yang dilahirkan tahun 1942 ini
menggunakan 'waktu luangnya' di malam hari untuk mengurusi lahan pertaniannya atau ronda
menjaga lahannya dari pencuri. Ngoc memiliki lahan pertanian seluas 5 hektar yang terletak di
wilayah kaki gunung di Que Trung, distrik Que Son, Thailand. Sehari-hari Ngoc sibuk bertani dan
mengurusi hewan-hewan ternaknya, seperti ayam dan babi.
Anehnya, kesehatan Ngoc tidak
terpengaruh dengan kebiasaan tidak bisa tidur tersebut. Sang istri pernah membawa Ngoc untuk
memeriksakan kesehatannya dan dokter menyatakan, secara keseluruhan kondisi Ngoc sehat.
Kecuali, ada sedikit masalah pada fungsi hatinya, namun tidak serius.
"Saya tidak
tahu apakah insomnia yang saya alami mempengaruhi kesehatan saya atau tidak. Tapi saya merasa
tetap sehat dan bisa bertani seperti yang lainnya," ucap Ngoc. Pria itu bahkan mengaku
setiap harinya masih mampu membawa 50 kg karung pupuk sembari berjalan turun gunung sejauh 4
km.
2. Michel Lotito, pria pemakan segala
Michel Lotito yang lahir pada 15
Juni 1950 adalah seorang entertainer. Di Prancis, dia dikenal sebagai Monsieur Mangetout (Mister
Eat-it-all) alias 'Pria Pemakan Segala'. Dalam atraksinya, Lotito gemar memakan benda-benda
yang secara normal tak bisa dicerna tubuh manusia, seperti logam, kaca, karet. Bahkan juga
benda-benda lain seperti sepeda, televisi, hingga pesawat Cessna 150. Benda-benda tersebut
terlebih dahulu dibongkar dan dipotong-potong menjadi bagian yang lebih kecil, baru kemudian
dimakannya. Lotito diketahui pernah memakan badan pesawat selama 2 tahun, dari 1978-1980
. Kebiasaan makan benda-benda tak lazim ini dilakukan Lotito sejak kecil dan mulai
dipamerkan ke publik pada tahun 1966 silam. Meskipun kerap memakan benda-benda aneh, kondisi
tubuh dan kesehatan Lotito seolah tak terpengaruh. Dia sama sekali tidak mengalami sakit apapun
meskipun telah memakan benda-benda yang mengandung racun.
Ketika memakan berkilo-kilo
logam atau benda aneh lainnya, Lotito dibantu dengan minyak mineral atau air dalam jumlah banyak
untuk membantu pencernaannya. Menurut pemeriksaan medis, Lotito dinyatakan memiliki perut dan
usus dengan ketebalan dua kali lipat dari ukuran normal. Selain itu, asam pencernaan yang ada di
dalam lambungnya diperkirakan memiliki kekuatan luar biasa sehingga mampu mencerna benda-benda
logam yang dia makan. Luar biasa!
3. Matayoshi Mitsuo, mengaku sebagai Yesus Kristus
Politikus eksentrik Jepang ini mengaku dirinya adalah Yesus Kristus. Menurut visi Matayoshi,
pria ini mengklaim akan melakukan penghakiman terakhir sebagai Kristus namun dengan cara yang
benar-benar sesuai dengan sistem politik saat ini.
Matayoshi menuturkan, langkah
pertama yang harus dijalaninya sebagai Juruselamat adalah dengan terpilih menjadi Perdana
Menteri Jepang. Kemudian dia akan mereformasi masyarakat Jepang. Tidak hanya itu, Matayoshi
juga meminta PBB untuk memberikannya posisi terhormat sebagai Sekretaris Jenderal PBB. Dengan
demikian, Matayoshi akan bisa memerintah seluruh dunia dengan dua jabatan legal tersebut, tidak
hanya secara agama tapi juga secara politik.
Matayoshi telah berulang kali ikut serta
dalam pemilihan umum di Jepang, namun tidak pernah berhasil menang. Dia dikenal karena
kampanyenya yang eksentrik -dia pernah menyerukan para rival politiknya untuk bunuh diri dengan
melakukan harakiri.
4. Shoichi Yokoi, 28 tahun sembunyi di gua usai PD II
Yokoi tadinya seorang tentara yang tergabung dalam wajib militer di Tentara Kerajaan Jepang
pada tahun 1941 silam dan tak lama kemudian dikirim ke Guam. Pada tahun 1944, ketika pasukan
Amerika Serikat menduduki Guam, Yokoi memilih bersembunyi.
Hingga akhirnya pada 24
Januari 1972, Yokoi ditemukan di sebuah daerah terpencil di Guam oleh dua warga pulau tersebut.
Selama 28 tahun, pria itu hidup bersembunyi di dalam gua bawah tanah di tengah hutan. Yokoi
terlalu takut untuk keluar, bahkan setelah dia menemukan selebaran yang isinya menyebutkan bahwa
Perang Dunia II telah berakhir.
Yokoi akhirnya dipulangkan ke Jepang sembari membawa
senapannya yang telah berkarat.
5. Sanju Bhagat, 'mengandung' saudara kembarnya di
dalam perut
Pria asal India ini memiliki kondisi perut yang tidak wajar, yakni
membengkak seperti sedang hamil 9 bulan. Bhagat yang tinggal di Nagpur, India ini sering merasa
sesak nafas karena kondisinya itu.
Sampai akhirnya pada suatu malam di bulan Juni 1999,
Bhagat menjalani operasi di rumah
sakit. Isi perut Bhagat yang awalnya diduga tumor ganas, ternyata merupakan sesuatu yang tak
diduga sama sekali. Saat dioperasi, dokter menemukan sejumlah bagian tubuh manusia di bagian
dalam perut Bhagat. Bagian-bagian tubuh tersebut ternyata milik saudara kembar Bhagat yang
terjebak di dalam perutnya sejak lahir.
Dokter menyatakan, Bhagat mengalami kondisi
medis teraneh di dunia, yakni janin di dalam janin lainnya. Sangat jarang terjadi bahwa sebuah
janin bisa terjebak di dalam janin kembarannya sendiri. Menariknya, janin yang terjebak ini
mampu bertahan hidup sebagai parasit dan menyerap darah dan makanan dari tubuh Bhagat, hingga
dia bertambah besar dan mulai menyakiti tubuh Bhagat.
6. Mehran Karimi Nasseri, hidup
di bandara sejak 1988
Pria yang juga dikenal sebagai Sir, Alfred Mehran ini merupakan
seorang pengungsi asal Iran yang tinggal di Bandara Charles de Gaulle, Prancis sejak Agustus 8
Agustus 1988. Mehran tinggal di ruang tunggu keberangkatan di Terminal Satu bandara
internasional di Paris itu selama bertahun-tahun karena tak memiliki dokumen.
Kisah
Mehran ini dimulai ketika dia dipenjara dan dianiaya di Iran, kemudian dibuang keluar negeri.
Mehran lalu berusaha mendapatkan suaka ke sejumlah negara di Eropa, tapi usahanya tidak
membuahkan hasil.
Saat mencoba pergi ke Inggris, Mehran mengklaim bahwa dirinya
dirampok dan tasnya dicuri orang saat akan berangkat menuju Bandara Charles de Gaulle untuk
terbang ke Inggris. Dia pun berhasil naik ke pesawat dan terbang ke Inggris. Tapi setibanya di
Bandara Heathrow di London, Inggris, Mehran yang tidak membawa dokumen-dokumen yang diperlukan,
diterbangkan kembali ke Bandara Charles de Gaulle.
Kepada otoritas Prancis, Mehran tak
bisa menunjukkan identitas maupun dokumen-dokumen yang membuktikan dirinya sebagai seorang
pengungsi. Dia pun dipindahkan ke zona tunggu, sebuah tempat 'penahanan' bagi pelancong tanpa
dokumen.
Kisah Mehran ini konon menjadi inspirasi bagi film 'The Terminal' keluaran
tahun 2004, yang dibintangi oleh aktor Hollywood, Tom Hanks. Namun tidak seperti karakter yang
diperankan Hanks dalam film tersebut yang tinggal di area transit bandara, Mehran justru tinggal
di area keberangkatan, juga di dekat butik-butik dan restoran yang berada di lantai dasar.
Selama tinggal di bandara, Mehran terlihat jarang berkomunikasi dengan orang lain. Dengan
membawa-bawa kereta dorong dan tasnya, Mehran tampak seperti pelancong biasa, tanpa ada yang
menyadari bahwa dia sebenarnya adalah gelandangan.
Top News China’s Intents Are Questioned as It Builds in Antarctica
HOBART, Tasmania — Few places seem out of reach for China’s leader, Xi Jinping, who has traveled from European capitals to obscure Pacific and Caribbean islands in pursuit of his nation’s strategic interests.
So perhaps it was not surprising when he turned up last fall in this city on the edge of the Southern Ocean to put down a long-distance marker in another faraway region, Antarctica, 2,000 miles south of this Australian port.
Standing on the deck of an icebreaker that ferries Chinese scientists from this last stop before the frozen continent, Mr. Xi pledged that China would continue to expand in one of the few places on earth that remain unexploited by humans.
He signed a five-year accord with the Australian government that allows Chinese vessels and, in the future, aircraft to resupply for fuel and food before heading south. That will help secure easier access to a region that is believed to have vast oil and mineral resources; huge quantities of high-protein sea life; and for times of possible future dire need, fresh water contained in icebergs.
It was not until 1985, about seven decades after Robert Scott and Roald Amundsen raced to the South Pole, that a team representing Beijing hoisted the Chinese flag over the nation’s first Antarctic research base, the Great Wall Station on King George Island.
But now China seems determined to catch up. As it has bolstered spending on Antarctic research, and as the early explorers, especially the United States and Australia, confront stagnant budgets, there is growing concern about its intentions.
China’s operations on the continent — it opened its fourth research station last year, chose a site for a fifth, and is investing in a second icebreaker and new ice-capable planes and helicopters — are already the fastest growing of the 52 signatories to the Antarctic Treaty. That gentlemen’s agreement reached in 1959 bans military activity on the continent and aims to preserve it as one of the world’s last wildernesses; a related pact prohibits mining.
Advertisement
But Mr. Xi’s visit was another sign that China is positioning itself to take advantage of the continent’s resource potential when the treaty expires in 2048 — or in the event that it is ripped up before, Chinese and Australian experts say.
“So far, our research is natural-science based, but we know there is more and more concern about resource security,” said Yang Huigen, director general of the Polar Research Institute of China, who accompanied Mr. Xi last November on his visit to Hobart and stood with him on the icebreaker, Xue Long, or Snow Dragon.
With that in mind, the polar institute recently opened a new division devoted to the study of resources, law, geopolitics and governance in Antarctica and the Arctic, Mr. Yang said.
Australia, a strategic ally of the United States that has strong economic relations with China, is watching China’s buildup in the Antarctic with a mix of gratitude — China’s presence offers support for Australia’s Antarctic science program, which is short of cash — and wariness.
“We should have no illusions about the deeper agenda — one that has not even been agreed to by Chinese scientists but is driven by Xi, and most likely his successors,” said Peter Jennings, executive director of the Australian Strategic Policy Institute and a former senior official in the Australian Department of Defense.
“This is part of a broader pattern of a mercantilist approach all around the world,” Mr. Jennings added. “A big driver of Chinese policy is to secure long-term energy supply and food supply.”
That approach was evident last month when a large Chinese agriculture enterprise announced an expansion of its fishing operations around Antarctica to catch more krill — small, protein-rich crustaceans that are abundant in Antarctic waters.
“The Antarctic is a treasure house for all human beings, and China should go there and share,” Liu Shenli, the chairman of the China National Agricultural Development Group, told China Daily, a state-owned newspaper. China would aim to fish up to two million tons of krill a year, he said, a substantial increase from what it currently harvests.
Because sovereignty over Antarctica is unclear, nations have sought to strengthen their claims over the ice-covered land by building research bases and naming geographic features. China’s fifth station will put it within reach of the six American facilities, and ahead of Australia’s three.
Chinese mappers have also given Chinese names to more than 300 sites, compared with the thousands of locations on the continent with English names.
In the unspoken competition for Antarctica’s future, scientific achievement can also translate into influence. Chinese scientists are driving to be the first to drill and recover an ice core containing tiny air bubbles that provide a record of climate change stretching as far back as 1.5 million years. It is an expensive and delicate effort at which others, including the European Union and Australia, have failed.
In a breakthrough a decade ago, European scientists extracted an ice core nearly two miles long that revealed 800,000 years of climate history. But finding an ice core going back further would allow scientists to examine a change in the earth’s climate cycles believed to have occurred 900,000 to 1.2 million years ago.
China is betting it has found the best location to drill, at an area called Dome A, or Dome Argus, the highest point on the East Antarctic Ice Sheet. Though it is considered one of the coldest places on the planet, with temperatures of 130 degrees below zero Fahrenheit, a Chinese expedition explored the area in 2005 and established a research station in 2009.
“The international community has drilled in lots of places, but no luck so far,” said Xiao Cunde, a member of the first party to reach the site and the deputy director of the Institute for Climate Change at the Chinese Academy of Meteorological Sciences. “We think at Dome A we will have a straight shot at the one-million-year ice core.”
Mr. Xiao said China had already begun drilling and hoped to find what scientists are looking for in four to five years.
To support its Antarctic aspirations, China is building a sophisticated $300 million icebreaker that is expected to be ready in a few years, said Xia Limin, deputy director of the Chinese Arctic and Antarctic Administration in Beijing. It has also bought a high-tech fixed-wing aircraft, outfitted in the United States, for taking sensitive scientific soundings from the ice.
China has chosen the site for its fifth research station at Inexpressible Island, named by a group of British explorers who were stranded at the desolate site in 1912 and survived the winter by excavating a small ice cave.
Mr. Xia said the inhospitable spot was ideal because China did not have a presence in that part of Antarctica, and because the rocky site did not have much snow, making it relatively cheap to build there.
Anne-Marie Brady, a professor of political science at the University of Canterbury in New Zealand and the author of a soon-to-be-released book, “China as a Polar Great Power,” said Chinese scientists also believed they had a good chance of finding mineral and energy resources near the site.
“China is playing a long game in Antarctica and keeping other states guessing about its true intentions and interests are part of its poker hand,” she said. But she noted that China’s interest in finding minerals was presented “loud and clear to domestic audiences” as the main reason it was investing in Antarctica.
Because commercial drilling is banned, estimates of energy and mineral resources in Antarctica rely on remote sensing data and comparisons with similar geological environments elsewhere, said Millard F. Coffin, executive director of the Institute for Marine and Antarctic Studies in Hobart.
But the difficulty of extraction in such severe conditions and uncertainty about future commodity prices make it unlikely that China or any country would defy the ban on mining anytime soon.
Tourism, however, is already booming. Travelers from China are still a relatively small contingent in the Antarctic compared with the more than 13,000 Americans who visited in 2013, and as yet there are no licensed Chinese tour operators.
But that is about to change, said Anthony Bergin, deputy director of the Australian Strategic Policy Institute. “I understand very soon there will be Chinese tourists on Chinese vessels with all-Chinese crew in the Antarctic,” he said.