Pengertian jual Buku Teks
Pengertian jual buku teks pelajaran adalah ”buku acuan wajib” yang digunakan di sekolah, memuat materi pembelajaran yang diharapkan mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis. Persoalannya sekarang, kita “dapat menggunakan” di dalam Permen mengindikasikan bahwa Depdiknas tidak tegas dalam ‘memerintahkan’ para guru untuk menyiapkan bahan ajar mereka sendiri, atau setidaknya, memperkaya buku teks yang mereka pakai di kelas dengan buku-buku atau sumber-sumber yang lain.
Oleh karena itu, jika belum mampu mengembangkan bahan ajar sendiri, atau kebijakan sekolah kebetulan mengharuskan guru untuk memberlakukan satu buku teks bagi siswa-siswanya, maka disarankan berikut ini beberapa hal yang patut dipertimbangkan guru atau sekolah terkait bagaimana memilih buku teks, yaitu: (1) harga buku, (2) ketersediaan buku di pasaran, (3) desain dan tata wajah buku, (4) metodologi pembelajaran yang dipakai, (5) keterampilan bahasa, (6) urut-urutan silabus, (7) topik-topik yang dipilih, (8) buku mengandung atau tidak unsur diskriminasi terkait SARA atau jender, dan (9) ketersediaan dan kualitas buku panduan guru (teacher’s guide).
Ada yang mengatakan bahwa “buku teks adalah rekaman pikiran rasial yang disusun buat maksud-maksud dan tujuan-tujuan intruksional” (Hall-Quest, 1915).Ahli yang lain menjelaskan bahwa “buku teks adalah buku standar/buku setiap cabang khusus studi” dan dapat terdiri dari dua tipe yaitu buku pokok/utama dan suplemen/tambahan (Lange, 1940).
Lebih terperinci lagi, ada ahli yang mengemukakan bahwa “buku teks adalah buku yang dirancang buat pengguanaan di kelas, dengan cermat disusun dan disiapkan oleh para pakar atau ahli dalam bidang itu dan diperlengkapi dengan sarana-sarana pengajaran yang sesuai dan serasi” (Bacon, 1935). Dan ahli yang lain lagi mengutarakan bahwa “buku teks adalah sarana belajar yang biasa digunakan di sekolah-sekolah dan diperguruan tinggi untuk menunjang suatu program pengajaran dalam pengertian modern dan yang umum dipahami (Buckingham, 1958 : 1523)”. Dari Telaah Buku Teks, Tarigan & Tarigan, 1986.
Buku teks atau buku pelajaran berisi informasi tentang ilmu pengetahuan atau pelajaran tertentu, mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Buku teks ini termasuk dalam golongan nonfiksi. Buku teks sering dipergunakan oleh para ilmuwan untuk meyebarkan hasil penelitian atau penemuan mereka. Buku teks pelajaran merupakan buku yang dipakai untuk memelajari atau mendalami suatu subjek pengetahuan dan ilmu serta teknologi atau suatu bidang studi, sehingga mengandung penyajian asas-asas tentang subjek tersebut, termasuk karya kepanditaan (scholarly, literary) terkait subjek yang bersangkutan.
Jumat, 27 Maret 2009
Definisi Buku Pelajaran
Buku dalam arti luas mencakup semua tulisan dan gambar yang ditulis dan dilukiskan atas segala macam lembaran papyrus, lontar, perkamen dan kertas dengan segala bentuknya: berupa gulungan, di lubangi dan diikat dengan atau dijilid muka belakangnya dengan kulit, kain, karton dan kayu. (Ensiklopedi Indonesia (1980, hlm. 538))
H.G. Andriese dkk menyebutkan buku merupakan “informasi tercetak di atas kertas yang dijilid menjadi satu kesatuan”.
Unesco pada tahun 1964, dalam H.G. Andriese dkk. Memberikan pengertian buku sebagai “Publikasi tercetak, bukan berkala, yang sedikitnya sebanyak 48 halaman”.
Sesuai dengan empat definisi buku di atas, maka buku diartikan sebagai kumpulan kertas tercetak dan terjilid berisi informasi dengan jumlah halaman paling sedikit 48 halaman yang dapat dijadikan salah satu sumber dalam proses belajar dan membelajarkan.
Definisi buku pelajaran atau buku teks pelajaran menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 11 Tahun 2005 : ”Buku pelajaran adalah buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan”.
Menurut Hartiadi Budi Santoso dari Deloitte Tax Solutions, buku pelajaran umum adalah buku-buku pelajaran pokok dan penunjang yang digunakan oleh TK, SD, SMP, SMU, universitas yang mendukung kurikulum sekolah yang bersangkutan.
Pengertian Buku Teks
Pengertian buku teks pelajaran adalah ”buku acuan wajib” yang digunakan di sekolah, memuat materi pembelajaran yang diharapkan mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan k Persoalannya sekarang, kata “dapat menggunakan” di dalam Permen mengindikasikan bahwa Depdiknas tidak tegas dalam ‘memerintahkan’ para guru untuk menyiapkan bahan ajar mereka sendiri, atau setidaknya, memperkaya buku teks yang mereka pakai di kelas dengan buku-buku atau sumber-sumber yang lain.
Oleh karena itu, jika belum mampu mengembangkan bahan ajar sendiri, atau kebijakan sekolah kebetulan mengharuskan guru untuk memberlakukan satu buku teks bagi siswa-siswanya, maka disarankan berikut ini beberapa hal yang patut dipertimbangkan guru atau sekolah terkait bagaimana memilih buku teks, yaitu: (1) harga buku, (2) ketersediaan buku di pasaran, (3) desain dan tata wajah buku, (4) metodologi pembelajaran yang dipakai, (5) keterampilan bahasa, (6) urut-urutan silabus, (7) topik-topik yang dipilih, (8) buku mengandung atau tidak unsur diskriminasi terkait SARA atau jender, dan (9) ketersediaan dan kualitas buku panduan guru (teacher’s guide).
Ada yang mengatakan bahwa “buku teks adalah rekaman pikiran rasial yang disusun buat maksud-maksud dan tujuan-tujuan intruksional” (Hall-Quest, 1915).
Ahli yang lain menjelaskan bahwa “buku teks adalah buku standar/buku setiap cabang khusus studi” dan dapat terdiri dari dua tipe yaitu buku pokok/utama dan suplemen/tambahan (Lange, 1940).
Lebih terperinci lagi, ada ahli yang mengemukakan bahwa “buku teks adalah buku yang dirancang buat pengguanaan di kelas, dengan cermat disusun dan disiapkan oleh para pakar atau ahli dalam bidang itu dan diperlengkapi dengan sarana-sarana pengajaran yang sesuai dan serasi” (Bacon, 1935)
Dan ahli yang lain lagi mengutarakan bahwa “buku teks adalah sarana belajar yang biasa digunakan di sekolah-sekolah dan diperguruan tinggi untuk menunjang suatu program pengajaran dalam pengertian modern dan yang umum dipahami (Buckingham, 1958 : 1523)”. Dari Telaah Buku Teks, Tarigan & Tarigan, 1986.
Buku teks atau buku pelajaran berisi informasi tentang ilmu pengetahuan atau pelajaran tertentu, mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Buku teks ini termasuk dalam golongan nonfiksi. Buku teks sering dipergunakan oleh para ilmuwan untuk meyebarkan hasil penelitian atau penemuan mereka.
Buku teks pelajaran merupakan buku yang dipakai untuk memelajari atau mendalami suatu subjek pengetahuan dan ilmu serta teknologi atau suatu bidang studi, sehingga mengandung penyajian asas-asas tentang subjek tersebut, termasuk karya kepanditaan (scholarly, literary) terkait subjek yang bersangkutan.
Buku teks pelajaran adalah buku yang berisi kumpulan lembaran-lembaran kertas yang berisi tulisan sehingga dapat digunakan sebagai acuman pembelajaran materi di sekolah.
http://cahaya-fajeri.blogspot.com/2010/03/buku-teks.html
Rekonstruksi Buku Teks Sekolah
Oleh:
M Jamaludin (Pengamat perbukuan dan Direktur Yayasan Buku Cerdas, Jakarta).
Buku pelajaran (textbook) merupakan media pembelajaran yang dominan bahkan sentral dalam sebuah sistem pendidikan. Ia adalah kendaraan utama transfusi materi kurikulum ke hadapan siswa. Karena perannya yang demikian sentral itu maka kemajuan dan kemunduran pendidikan suatu bangsa dapat dilacak dari tinggi-rendahnya mutu buku teks yang dibaca oleh anak didik.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Kathy Chekley (1997), misalnya, menemukan bahwa ketertinggalan siswa Amerika dari siswa Jepang dalam penguasaan matematika dan sains berawal dari buku-buku teks sekolah Amerika yang cenderung a mile wide and an inch deep. Buku-buku teks sekolah Amerika dipenuhi oleh halaman-halaman tanpa makna (meaningless) dan terlalu detail terhadap konsep-konsep kecil, sementara buku-buku teks Jepang menganut prinsip less is more (sedikit itu banyak). Untuk pelajaran fisika-biologi kelas 6, misalnya, buku teks Jepang hanya memuat 6 topik sedangkan Amerika 65 topik. Dihadapkan dengan kenyataan ini Amerika-melalui Project 2061 yang diluncurkan tahun 2001-memberi perhatian besar terhadap penulisan buku-buku teks yang berorientasi pada kedalaman substansi dan proses.
Bagaimana dengan buku-buku teks sekolah di Indonesia? Keadaannya lebih parah. Di samping tingkat kepadatan materi yang tinggi, buku teks sekolah Indonesia menyimpan cacat isi (content) yang mendasar. Sebuah riset yang dilakukan oleh Sri Redjeki (1997), misalnya, menunjukkan bahwa buku-buku pelajaran yang dikonsumsi pelajar Indonesia tertinggal 50 tahun dari perkembangan terbaru sains modern. Hal yang sama terjadi juga pada pelajaran lain termasuk pelajaran agama. Buku pelajaran agama bahkan lebih menyerupai buku teks subjek matematika atau fisika yang sarat dengan rumus dan lebih mementingkan peran akal ketimbang rumusan moralitas dalam proses dan praktik.
Ini terlihat secara kasatmata karena pelajaran agama dinilai dengan satuan angka. Untuk memperoleh nilai bagus dalam pelajaran agama, seorang anak bahkan harus menghafal sedemikian banyak soal bahkan dalam bentuk multiple choice. Bisa dibayangkan, buku teks agama kita sangat tidak menarik karena anak dikejar-kejar dengan nilai, bukan proses penanaman etika dalam proses belajar keseharian.
Memang banyak muncul buku teks terbitan terbaru, apalagi dengan kebijakan e-book baru-baru ini, akan tetapi isinya tidak fokus dan sering kali merupakan pengulangan-pengulangan. Yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah siklus daur ulang materi-materi lama dengan referensi lama pula-untuk tidak mengatakan kadaluwarsa-sehingga perkembangan pengetahuan siswa pada dasarnya jalan di tempat. Dengan kondisi ini, harapan agar siswa bisa mengantisipasi masa depan menjadi slogan belaka. Bagaimana mungkin mengharapkan mereka mampu mengantisipasi masa depan jika pelajaran-pelajaran yang disodorkan justru tidak responsif terhadap perkembangan yang sedang terjadi?
Dalam studi Dedi Supriadi (Anatomi Buku Sekolah di Indonesia, 2000) terungkap bahwa buku pelajaran (textbook) merupakan satu-satunya buku rujukan yang dibaca oleh siswa, bahkan juga oleh sebagian besar guru. Hal ini setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, ketergantungan siswa dan guru yang begitu besar terhadap kelemahan mendasar dunia pendidikan nasional, tetapi pada sisi lain menginspirasikan treatment strategis bagi pengembangannya. Fenomena ini sesungguhnya menyodorkan satu hal urgen, buku paket bisa menjadi katalisator (baca jalan pintas) peningkatan mutu pendidikan Indonesia yang sedang terpuruk.
Ada beberapa alasan mengapa buku paket menjadi alternatif strategis-akseleratif pembangunan kembali dunia pendidikan Indonesia yang sudah bangkrut. Pertama, kualitas guru yang sebagian besar tidak memadai. Sudah menjadi pengakuan umum bahwa rendahnya kualitas guru Indonesia-karena beberapa sebab yang memang tidak kondusif bagi mereka untuk berkembang dan profesional dalam bidangnya-adalah salah satu titik lemah pendidikan nasional.
Rendahnya mutu guru salah satunya disebabkan oleh masih adanya angka guru mismatch dan underqualified yang relatif tinggi. Beberapa usaha telah dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme guru seperti in-service training, sertifikasi, atau bahkan program pascasarjana. Tetapi usaha semacam ini, di samping sulit menjamin kualitas hasilnya, juga membutuhkan biaya besar dan waktu lama.
Di tengah kondisi yang demikian, perlu dicari altematif yang paling mungkin untuk menolong siswa dalam jangka pendek, dan tanpa membutuhkan waktu terlalu lama. Dalam hal ini, kehadiran buku pelajaran berkualitas yang dirancang dengan asumsi bisa dipahami dengan baik tanpa guru sekalipun dan, tentunya relevan terhadap temuan terbaru menjadi sangat mendesak.
Kedua, seperti yang diungkap di atas, buku paket merupakan satu-satunya buku rujukan yang dapat diakses (baca dibaca) oleh hampir seluruh siswa, bahkan juga oleh sebagian besar guru. Tragis sekali bila satu-satunya sumber belajar yang bisa diakses siswa ini tidak ditangani secara serius. Di samping itu, seperti yang ditunjukkan oleh laporan International Education Achievement tahun 1999, minat baca siswa di sekolah-sekolah Indonesia menempati nomor dua terakhir dari 39 negara yang disurvei. Tentunya, keadaannya akan semakin parah bila minat baca siswa yang minim tersebut diperburuk oleh rendahnya kualitas buku pegangan yang menjadi satu-satunya buku bacaan mereka. Mereka bisa jadi kehilangan minat terhadap buku.
Kelemahan buku-buku teks yang banyak beredar setidaknya mencakup lima hal, yaitu isi, bahasa, desain grafis, metodologi penulisan, dan strategi indexing. Seperti disinggung di atas, masalah isi mengandung dua cacat pokok, yakni terlalu banyak dan kadaluwarsa dan karena itu menyesatkan, sebab sudah tidak sesuai dengan penemuan-penemuan mutakhir. Hal ini setidaknya juga bisa dilihat dari referensi lama yang dipergunakan. Pengakuan para penyusun buku seperti diungkap Supriadi patut mendapat catatan Para penyusun bukannya menulis buku baru dengan referensi yang baru pula, melainkan menata ulang, mengemas kembali, atau merakit kembali materi-materi yang telah ada dalam buku-buku sebelumnya. Maka yang terjadi sebenarnya adalah reproduksi ulang kesalahan-kesalahan sebelumnya dengan kemasan baru.
Dari segi bahasa dan ilustrasi, kelemahan menonjol buku-buku teks adalah penggunaan bahasa dan ilustrasi yang tidak komunikatif sehingga tidak berhasil menyampaikan pesan inti buku. Dari segi metodologi penulisan, dapat dilihat dari tidak adanya nuansa yang bisa menggugah kesadaran afektif-emosional siswa, terutama dalam buku-buku sosial, moral, dan keagamaan. Pendekatan yang dipakai terlalu materialistik, kering, dan membosankan sehingga gagal menyampaikan pesan isi (content provision) sebuah buku.
Dari aspek strategi kemudahan untuk membaca, indexing hampir tak pernah ada dalam buku-buku teks sekolah anak-anak kita. Tidak seperti buku-buku teks semisal di Singapura dan Amerika yang kaya dengan indeks. Buku-buku teks kita miskin inisiatif bahkan untuk sebagian buku teks di perguruan tinggi. Dalam beberapa studi disebutkan, ketersediaan indeks dalam buku teks akan menaikkan tingkat analitis dan daya kritis anak terhadap setiap persoalan. Karena, dengan indeks seorang anak akan belajar bagaimana melihat kebutuhan pokok bahasan yang sesuai dengan minat dan keinginannya tanpa perlu waktu lama dalam memperolehnya.
Kelima masalah di atas bisa jadi berawal dari honor yang diterima oleh para penulis sangat kecil dan kadang tidak manusiawi. Bagaimana tidak, walau pun anggaran yang dialokasikan untuk buku sangat besar, yang diterima oleh penulis justru sangat tidak wajar. Menurut Rencana Proyek Pengembangan Buku dan Minat Baca, Dirjen Dikdasmen, misalnya, alokasi dana pengembangan buku tidak kurang dari US$350 juta. Dengan kurs rata-rata RplO.OOO per dolar, jumlah itu sama dengan Rp3,5 triliun lebih! idealnya, dengan dana yang demikian besar, pemerintah seharusnya bisa membangun semacam Kamp Konsentrasi Penulisan Buku Paket dengan membayar penulis-penulis andal dengan satu tema besar, Melahirkan buku-buku teks berkualitas bagi pembangunan masa depan bangsa.
Bila kita sepakat bahwa yang paling berkepentingan dalam pendidikan adalah siswa, dan,bahwa setiap usaha peningkatan mutu pendidikan bertujuan untuk memaksimalkan kemampuan siswa, sudah saatnya usaha yang diprioritaskan adalah yang paling mungkin dirasakan langsung oleh setiap siswa. Tidak bisa dimungkiri, buku paket merupakan salah satu-kalau tidak satu-satunya-media belajar yang bisa dipegang, dirasakan, bahkan menjadi teman tidur siswa-yang kebetulan sebagian besar miskin dan tak berdaya itu- di pojok-pojok kamar mereka. Merupakan kekeliruan fatal bila kemudian teman setia-nya tersebut tidak mampu mengantarnya ke gerbang pengetahuan dan masa depan yang lebih baik.
Karena perannya yang demikian sentral itu maka kemajuan dan kemunduran pendidikan suatu bangsa dapat dilacak dari tinggi-rendahnya mutu buku teks yang dibaca oleh anak didik. Sebuah studi yang dilakukan oleh Kathy Chekley (1997), misalnya, menemukan bahwa ketertinggalan siswa Amerika dari siswa Jepang dalam penguasaan matematika dan sains berawal dari buku-buku teks sekolah Amerika yang cenderung a mile wide and an inch deep. Buku pelajaran agama bahkan lebih menyerupai buku teks subjek matematika atau fisika yang sarat dengan rumus dan lebih mementingkan peran akal ketimbang rumusan moralitas dalam proses dan praktik.
Nilai strategis Dalam studi Dedi Supriadi (Anatomi Buku Sekolah di Indonesia, 2000) terungkap bahwa buku pelajaran (textbook) merupakan satu- satunya buku rujukan yang dibaca oleh siswa, bahkan juga oleh sebagian besar guru. Kedua, seperti yang diungkap di atas, buku paket merupakan satu-satunya buku rujukan yang dapat diakses (baca dibaca) oleh hampir seluruh siswa, bahkan juga oleh sebagian besar guru. Tentunya, keadaannya akan semakin parah bila minat baca siswa yang minim tersebut diperburuk oleh rendahnya kualitas buku pegangan yang menjadi satu-satunya buku bacaan mereka. Pengakuan para penyusun buku seperti diungkap Supriadi patut mendapat catatan Para penyusun bukannya menulis buku baru dengan referensi yang baru pula, melainkan menata ulang, mengemas kembali, atau merakit kembali materi-materi yang telah ada dalam buku-buku sebelumnya. Bila kita sepakat bahwa yang paling berkepentingan dalam pendidikan adalah siswa, dan,bahwa setiap usaha peningkatan mutu pendidikan bertujuan untuk memaksimalkan kemampuan siswa, sudah saatnya usaha yang diprioritaskan adalah yang paling mungkin dirasakan langsung oleh setiap siswa.
ARTIKEL BUKU TEKS
UNITED NATIONS — Wearing pinstripes and a pince-nez, Staffan de Mistura, the United Nations envoy for Syria, arrived at the Security Council one Tuesday afternoon in February and announced that President Bashar al-Assad had agreed to halt airstrikes over Aleppo. Would the rebels, Mr. de Mistura suggested, agree to halt their shelling?
What he did not announce, but everyone knew by then, was that the Assad government had begun a military offensive to encircle opposition-held enclaves in Aleppo and that fierce fighting was underway. It would take only a few days for rebel leaders, having pushed back Syrian government forces, to outright reject Mr. de Mistura’s proposed freeze in the fighting, dooming the latest diplomatic overture on Syria.
Diplomacy is often about appearing to be doing something until the time is ripe for a deal to be done.
Now, with Mr. Assad’s forces having suffered a string of losses on the battlefield and the United States reaching at least a partial rapprochement with Mr. Assad’s main backer, Iran, Mr. de Mistura is changing course. Starting Monday, he is set to hold a series of closed talks in Geneva with the warring sides and their main supporters. Iran will be among them.
In an interview at United Nations headquarters last week, Mr. de Mistura hinted that the changing circumstances, both military and diplomatic, may have prompted various backers of the war to question how much longer the bloodshed could go on.
“Will that have an impact in accelerating the willingness for a political solution? We need to test it,” he said. “The Geneva consultations may be a good umbrella for testing that. It’s an occasion for asking everyone, including the government, if there is any new way that they are looking at a political solution, as they too claim they want.”
He said he would have a better assessment at the end of June, when he expects to wrap up his consultations. That coincides with the deadline for a final agreement in the Iran nuclear talks.
Whether a nuclear deal with Iran will pave the way for a new opening on peace talks in Syria remains to be seen. Increasingly, though, world leaders are explicitly linking the two, with the European Union’s top diplomat, Federica Mogherini, suggesting last week that a nuclear agreement could spur Tehran to play “a major but positive role in Syria.”
It could hardly come soon enough. Now in its fifth year, the Syrian war has claimed 220,000 lives, prompted an exodus of more than three million refugees and unleashed jihadist groups across the region. “This conflict is producing a question mark in many — where is it leading and whether this can be sustained,” Mr. de Mistura said.
Part Italian, part Swedish, Mr. de Mistura has worked with the United Nations for more than 40 years, but he is more widely known for his dapper style than for any diplomatic coups. Syria is by far the toughest assignment of his career — indeed, two of the organization’s most seasoned diplomats, Lakhdar Brahimi and Kofi Annan, tried to do the job and gave up — and critics have wondered aloud whether Mr. de Mistura is up to the task.
He served as a United Nations envoy in Afghanistan and Iraq, and before that in Lebanon, where a former minister recalled, with some scorn, that he spent many hours sunbathing at a private club in the hills above Beirut. Those who know him say he has a taste for fine suits and can sometimes speak too soon and too much, just as they point to his diplomatic missteps and hyperbole.
They cite, for instance, a news conference in October, when he raised the specter of Srebrenica, where thousands of Muslims were massacred in 1995 during the Balkans war, in warning that the Syrian border town of Kobani could fall to the Islamic State. In February, he was photographed at a party in Damascus, the Syrian capital, celebrating the anniversary of the Iranian revolution just as Syrian forces, aided by Iran, were pummeling rebel-held suburbs of Damascus; critics seized on that as evidence of his coziness with the government.
Mouin Rabbani, who served briefly as the head of Mr. de Mistura’s political affairs unit and has since emerged as one of his most outspoken critics, said Mr. de Mistura did not have the background necessary for the job. “This isn’t someone well known for his political vision or political imagination, and his closest confidants lack the requisite knowledge and experience,” Mr. Rabbani said.
As a deputy foreign minister in the Italian government, Mr. de Mistura was tasked in 2012 with freeing two Italian marines detained in India for shooting at Indian fishermen. He made 19 trips to India, to little effect. One marine was allowed to return to Italy for medical reasons; the other remains in India.
He said he initially turned down the Syria job when the United Nations secretary general approached him last August, only to change his mind the next day, after a sleepless, guilt-ridden night.
Mr. de Mistura compared his role in Syria to that of a doctor faced with a terminally ill patient. His goal in brokering a freeze in the fighting, he said, was to alleviate suffering. He settled on Aleppo as the location for its “fame,” he said, a decision that some questioned, considering that Aleppo was far trickier than the many other lesser-known towns where activists had negotiated temporary local cease-fires.
“Everybody, at least in Europe, are very familiar with the value of Aleppo,” Mr. de Mistura said. “So I was using that as an icebreaker.”
The cease-fire negotiations, to which he had devoted six months, fell apart quickly because of the government’s military offensive in Aleppo the very day of his announcement at the Security Council. Privately, United Nations diplomats said Mr. de Mistura had been manipulated. To this, Mr. de Mistura said only that he was “disappointed and concerned.”
Tarek Fares, a former rebel fighter, said after a recent visit to Aleppo that no Syrian would admit publicly to supporting Mr. de Mistura’s cease-fire proposal. “If anyone said they went to a de Mistura meeting in Gaziantep, they would be arrested,” is how he put it, referring to the Turkish city where negotiations between the two sides were held.
Secretary General Ban Ki-moon remains staunchly behind Mr. de Mistura’s efforts. His defenders point out that he is at the center of one of the world’s toughest diplomatic problems, charged with mediating a conflict in which two of the world’s most powerful nations — Russia, which supports Mr. Assad, and the United States, which has called for his ouster — remain deadlocked.
R. Nicholas Burns, a former State Department official who now teaches at Harvard, credited Mr. de Mistura for trying to negotiate a cease-fire even when the chances of success were exceedingly small — and the chances of a political deal even smaller. For his efforts to work, Professor Burns argued, the world powers will first have to come to an agreement of their own.
“He needs the help of outside powers,” he said. “It starts with backers of Assad. That’s Russia and Iran. De Mistura is there, waiting.”
With Iran Talks, a Tangled Path to Ending Syria’s War