MAU UMROH BERSAMA TRAVEL TERBAIK DI INDONESIA ALHIJAZ INDO WISATA..?

YOOK LANGSUNG WHATSAPP AJA KLIK DISINI 811-1341-212
 

ITINERARY PERJALANAN UMROH REGULER 10 hari

Setiap jamaah yang berangkat umroh atau haji khusus Call/Wa. 08111-34-1212 pasti menginginkan perjalanan ibadah haji plus atau umrohnya bisa terlaksana dengan lancar, nyaman dan aman sehingga menjadi mabrur. Demi mewujudkan kami sangat memahami keinginan para jamaah sehingga merancang program haji onh plus dan umroh dengan tepat. Jika anda ingin melaksanakan Umrah dan Haji dengan tidak dihantui rasa was-was dan serta ketidakpastian, maka Alhijaz Indowisata Travel adalah solusi sebagai biro perjalanan anda yang terbaik dan terpercaya.?agenda umroh 12 hari

Biro Perjalanan Haji dan Umrah yang memfokuskan diri sebagai biro perjalanan yang bisa menjadi sahabat perjalanan ibadah Anda, yang sudah sangat berpengalaman dan dipercaya sejak tahun 2010, mengantarkan tamu Allah minimal 5 kali dalam sebulan ke tanah suci tanpa ada permasalahan. Paket yang tersedia sangat beragam mulai paket umroh 9 hari, 12 hari, umroh wisata muslim turki, dubai, aqso. Biaya umroh murah yang sudah menggunakan rupiah sehingga jamaah tidak perlu repot dengan nilai tukar kurs asing. promo paket umroh murah di Jakarta Pusat

A. Pengertian Ghazwul Fikri (GF)

 

Ø Secara Bahasa

Ghazwul Fikri terdiri dari dua suku kata yaitu Ghazwah dan Fikr. Ghazwah berarti serangan, serbuan atau invansi. Sedangkan Fikr berarti pemikiran. Jadi, menurut bahasa Ghazwul Fikri adalah serangan atau serbuan didalam qital (perang) atau Ghazwul Fikri secara bahasa diartikan sebagai invansi pemikiran.

 

Ø Secara Istilah

Secara istilah, Ghazwul Fikri adalah penyerangan dengan berbagai cara terhadap pemikiran umat islam guna merubah apa yang ada didalamnya sehingga tidak lagi bisa mengeluarkan darinya hal – hal yang benar karena telah tercampur aduk dengan hal – hal yang tidak islami.

 

B. Makna Invansi Pemikiran (Ghazwul Fikri (GF))

 

Invansi / serangan pemikiran atau dalam bahasa arab dinamakan ghazwul fikri dan dalam bahasa inggris disebut dengan brain washing, thought control, menticide adalah istilah yang menunjukkan kepada suatu program yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis dan terstruktur oleh musuh – musuh islam untuk melakukan pendangkalan pemikiran dan cuci otak kepada kaum muslimin. Hal ini mereka lakukan agar kaum muslimin tunduk dan mengikuti cara hidup mereka sehingga melanggengkan kepentingan mereka untuk menjajah / mengeksploitasi sumber daya milik kaum muslimin.

 

C. Kelebihan – Kelebihan Invansi Pemikiran (Ghazwul Fikri (GF))

 

Invansi pemikiran atau ghazwul fikri (GF) dilakukan oleh para musuh islam dengan pertimbangan – pertimbangan bahwa dibandingkan dengan melakukan peperangan militer atau fisik, maka ghazwul fikri (GF) memiliki kelebihan – kelebihan sebagai berikut :

Aspek

Perang Fisik

Ghazwul Fikri

Biaya

Sangat mahal

Murah dan dikembalikan

Jangkauan

Terbatas di front

Sampai ke rumah - rumah

Obyek

Obyek merasakan

Sama sekali tidak merasa

Dampak

Mengadakan perlawanan

Menjadikan idola

Persenjataan

Senjata berat

Slogan, teori, iklan

 

D. Sejarah Ghazwul Fikri (GF)

 

Sejarah Ghazwul Fikri (GF) sudah ada setua umur manusia, makhluk yang pertama kali melakukannya adalah iblis laknatullah ketika berkata kepada Adam as., “ Sesungguhnya Allah melarang kalian memakan buah ini supaya kalian berdua tidak menjadi malaikat dan tidak dapat hidup abadi. “ (Q.S.Al – A’Raaf:20)

Dalam perkataannya ini iblis tidak menyatakan bahwa Allah tidak melarang kalian…karena itu akan bertentangan dengan informasi yang telah diterima oleh Adam as., tetapi iblis mengemas dan menyimpangkan makna perintah Allah SWT. Sesuai dengan keinginannya, yaitu dengan menambahkan alas an pelarangan Allah yang dibuat sendiri. Iblis tahu bahwa Adam as tidak punya pengetahuan tentang sebab tersebut. Demikianlah para murid – murid iblis dimasa kini selalu berusaha melakukan ghazwul fikri dengan menyimpangkan fakta dan informasi yang ada sesuai dengan maksud jahatnya. Setan melakukannya dengan cara yang sangat halus dan licin. Akibatnya, hanya orang – orang yang dirahmati Allah SWT yang mampu mengetahuinya.

 

 

E. Bidang – Bidang Yang di serang

 

1. Pendidikan

Pendidikan adalah aspek penting yang menentukan maju atau mundurnya suatu bangsa. Oleh sebab itu, bidang pendidikan merupakan target utama dari ghazwul fikri (GF). Ghazwul fikri (GF) yang dilakukan dibidang pendidikan, diantaranya dengan membuat sedikitnya porsi pendidikan agama di sekolah – sekolah umum (hanya 2 jam sepekan).

Hal ini berdampak fatal pada fondasi agama yang dimiliki oleh para siswa. Dengan lemahnya basis agama mereka, maka terjadilah tawuran, seks bebas pelajar yang meningkatkan AIDS, penyalahgunaan narkoba, vandalism, dan sebagaimananya. Ini adalah dampak jangka pendek.

Sedangkan dampak jangka panjangnya lebih berbahaya, yaitu rendahnya kualitas pemahaman agama para calon pemimpin bangsa dimasa depan. Ghazwul fikri (GF) lainnya dibidang ini adalah pada teknis belajarnya yang campur baur antara pria dan wanita yang jelas tidak sesuai dan banyak menimbulkan pelanggaran terhadap syariat.

 

2. Sejarah

Sejarah yang diajarkan perlu ditinjau ulang dan disesuaikan dengan semangat islam. Materi tentang sejarah dunia dan ilmu pengetahuan telah ghazwul fikri (GF) habis – habisan sehingga hamper tidak ditemui sama sekali pemaparan tentang sejarah para ilmuan islam dan sumbangannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Dalam sejarah yang dibahas hanyalah ilmuan kafir yang pada akhirnya membuat generasi muda menjadi silau dengan tokoh – tokoh kafir dan minder terhadap sejarahnya sendiri. Ketika berbicara tentang sejarah islam, di benak mereka hanyalah terbayang sejarah peperangan dengan pedang dan darah sebagaimana yang selalu digambarkan dalam kaca mata barat.

Hal ini lebih diperparah dengan sejarah nasional dan penamaan perguruan tinggi, gedung – gedung, perlambangan, penghargaan dan pusat ilmu lainnya dengan bahasa Hindu Sanksekerta, sehinga semakin hilanglah mutiara kegemilangan islam dihati para generasi muda.

 

3. Ekonomi

Ghazwul fikri (GF) yang terjadi dibidang ekonomi adalah konsekuensi dari motto ekonomi yaitu, mencari keuntungan sebesar – besarnya dengan pengorbanan sekecil – kecilnya. Ketika motto ini ditelan habis – habisan tanpa dilakukan filterisasi, maka tidak lagi memperhatikan halal atau haram, yang penting adalah bagaimana supaya untung sebesar – besarnya.

Hal lain yang perlu dicermati dalam system ekonomi kapitalisme, yaitu monopoli, riba dan pemihakan elit kepada para konglomerat. Mengenai monopoli sudah tidak perlu dibahas lagi, cukup jika dikatakan bahwa Amerika Serikat sendiri telah diberlakukan UU anti – trust (bagaimana di Indonesia?). Tentang riba dan haramnya bunga bank rasanya bukan pada tempatnya jika dibahas disini, cukup dikatakan bahwa munculnya dan berkembangnya bank tanpa bunga (bagi hasil), fatwa MUI, fatwa Universita Al Azhar Mesir, kesepakatan para ulama islam dunia membuktikan bahaya bunga bank dan haramnya dalam islam. Tentang keberpihakan kepada para konglomerat, semoga dengan perkembangan era reformasi saat ini dapat diperbaiki.

 

4. Ilmu Alam dan Sosial

Pada bidang ilmu – ilmu alam, ghazwul fikrii terbesar yang dilakukan adlah dengan dilakukannya sekularisasi antara ilmu pengetahuan dengan ilmu agama. Bahaya lainnya adalah penisbatan teori – teori ilmu pengetahuan kepada para ilmuan tanpa mengembalikannya kepada sang pemberi dan pemilik ilmu, sehingga mengakibatkan kekaguman dan pujian hanya berhenti pada diri para ilmuwan dan tidak bermuara kepada Allah SWT.

Hal lain adalah berkembangnya berbagai teori – teori sesaat yang sebenarnya belum diterima secara ilmiah, tetapi disebarkan secara besar – besaran oleh kelompok – kelompok tertentu untuk menimbulkan keraguan pada agama. Misalnya, teori tentang asal usul makhluk hidup (the origins of species) dari Darwin (yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari penemuan Herbert Spencer) yang sebenarnya masih ada the missing link yang belum dapat menghubungkan antara manusia dank era, tapi sudah “ diindoktrinasikan “ kemana – mana. Atau, teori Libido seksualnya Freud, yang menyatakan bahwa jika manusia tidak dibebaskan sebebas – bebasnya keinginan seksualnya akan mengakibatkan terjadinya gangguan kejiwaan. Teori ini sudah dibantah secara ilmiah dan pencetusnya sendiri (Freud) yang terus menggembar – gemborkan kebebasan seksual, ternyata mati karena menderita penyakit kejiwaan (psikopath).

 

5. Bahasa

Ghazwul fikri (GF) dibidang bahasa adalah dengantidak diajarkannya bahasa Al – Qur’an di sekolah – sekolah karena menganggapnya tidak perlu. Hal yang nampaknya remeh ini sebenarnya sanagt besar akibatnya dan menjadi bencana bagi kaum muslimin Indonesia secara umum. Dengan tidak memahami Al – Qur’an, mayoritas kaum muslimin menjadi tidak mengerti apa kandungan Al – Qur’an, seperti firman Allah dalam surah Al Baqarah:78 artinya “ Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al – Kitab (taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga – duga “. Akibatnya, Al – Qur’an menjadi sekedar bacaan tanpa arti (Al – Qur’an hanya dinikmati iramanya seperti layaknya lagu – lagu dan nyayian belaka, yang akhirnya ditinggalkan seperti yang disebutkan dalam surah Al Furqaan:30 yang artinya “ Berkata Rasul : Ya tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al – Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan “ dan surah Al Furqaan:31 yang artinya “ Dan seperti itulah, setelah kami adakan bagi tiap – tiap nabi, musuh dari orang – orang yang berdosa dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong. “)

Dampak lain dari kebodohan terhadap bahasa Al – Qur’an adalah terputusnya hubungan kaum muslimin dengan perbendaharaan ilmu – ilmu keislaman yang telah disusun dan dibukukan selama hamper 1000 tahun oleh para pakar dan ilmuwan islam terdahulu yang jumlahnya mencapai jutaan judul buku, mencakup bidang – bidang akidah, tafsir, hadist, fiqih, sirah, tarikh, ulumul qur’an, tazkiyyah dan sebagainya.

 

6. Hukum

Ghazwul fikri (GF) pada aspek hukum adalah penggunaan acuan hukum warisan kolonial yang masih dipertahankan sebagai hukum yang berlaku, reduksi, dan penghapusan hukum Allah SWT dan Rasul – Nya. Rasa takut dan alergi terhadap segala yang berbau syariat islam merupakan keberhasilan ghazwul fikri (GF) dibidang ini. Penggambaran potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi penzina selalu ditonjolkan saat pembicaraan – pembicaraan tentang kemungkinan adopsi terhadap beberapa hukum islam. Mereka melupakan bahwa hukum islam berpihak (melindungi) korban kejahatan, sehingga hukuman keras dijatuhkan kepada pelaku kejahatan agar perbuatannya tidak terulang dan orang lain takut untuk berbuat yang sama.

Sebaliknya, hukum barat berpihak (melindungi) pelaku kejahatan, sehingga dengan hukuman tersebut memungkinkannya untuk mengulang lagi kejahatannya karena ringannya hukuman tersebut. Laporan menunjukkan bahwa tingkat perkosaan yang terjadi di Kanada selama sehari sama dengan kejahatan yang sama di Kuwait selama 12 tahun, bahkan pooling yang dilakukan di masyarakat Amerika Serikat menunjukkan bahwa 1 dari 3 masyarakat Amerika Serikat menyetujui dijatuhkannya hukuman mati untuk pemerkosa.

 

7. Pengiriman pelajar dan mahasiswa ke Luar Negeri

Ghazwul fikri (GF) dibidang ini terjadi dalam dua aspek, yaitu : Brain drain dan Brain Washing. Brain drain adalah pelarian para intelektual dari negara – negara islam ke negara – negara maju karena insentif yang lebih besar dan fasilitas hidup yang lebih mewah bagi para pekerja disana. Hal ini menyebabkan lambatnya pembangunan di negara – negara islam dan semakin cepatnya kemajuan di negara – negara barat.

Data penelitian tahun 1996 menyebutkan bahwa perbandingan SDM bergelar doctor (S3) di Indonesia baru 60 per sejuta penduduk, di Amerika Serikat dan Eropa antara 2500 – 3000 orang per sejuta, dan di Israel mencapai 16.000 per sejuta penduduk.

Sementara brain washing (cuci otak) dialami oleh para intelektual yang sebagian besar berangkat ke negara – negara barat tanpa dibekali dengan dasar – dasar keislaman yang cukup. Akibatnya, mereka pulang dengan membawa pola piker dan perilaku yang bertentangan dengan nilai – nilai islam. Bahkan secara sadar atau tidak, mereka ikut andil dalam membantu melanggengkan kepentingan barat dinegara mereka.

 

8. Media massa

Berbicara mengenai ghazwul fikri (GF) yang terjadi dalam media massa, maka dapat dipilah pada aspek – aspek sebagai berikut :

· Aspek kehadirannya

Terjadinya perubahan penjadwalan kegiatan sehari – hari dalam keluarga muslim, missal TV. Dulu selepas maghrib, anak – anak biasanya mengaji dan belajar agama. Sekarang, selepas maghrib anak – anak menonton acara – acara TV yang kebanyakan merusak dan tidak bermanfaat. Sementara bagi para remaja dan orang tua dibandingkan dating ke pengajian dan majlis – majlis taklim, mereka lebih senang menghabiskan waktunya dengan menonton TV.

Sebenarnya TV dapat menjadi srana dakwah yang luar biasa (sesuai dengan teori komunikasi yang menyatkan bahwa media audio – visual memiliki pengaruh yang tertinggi dalam membentuk kepribadian baik pada tingkat individu maupun masyarakat) asal dikemas dan dirancang sesuai dengan nilai – nilai islam.

 

 

· Aspek isinya

Berbicara mengenai isi yang ditampilkan oleh media massa yang merupakan produk ghazwul fikri (GF) diantaranya adalah mengenai penokohan – penokohan atau orang – orang yang diidolakan. Media massa yang ada tidak berusaha ikut mendidik bangsa dan masyarakat dengan menokohkan para ulama, ilmuwan, dan orang – orang yang dapat mendorong membangun bangsa agar mencapai kemajuan IMTAK dan IPTEK sebagaimana yang digembar – gemborkan. Tetapi sebaliknya, justru tokoh yang terus menerus diekspos dan ditampilkan adalah para selebriti yang menjalankan gaya hidup borjuis, menghambur – hamburkan uang (tabdzir), jauh dari memiliki IPTEK apalagi nilai – nilai agama.

Hal ini jelas besar dampaknya pada generasi muda dalam memilih dan menentukan gaya hidup, cita – citanya dan tentunya pada kualitas bangsa dan Negara. Rpoduk lain dari ghazwul fikri (GF) yang menonjol dalam media TV, misalnya porsi film – film islami yang dapat dikatakan tidak ada. Film yang diputar 90% adalah film bergaya barat, sisanya adalah film nasional (yang juga bergaya barat), film – film mandarin, dan film – film india.

 

F. Sasaran dilakukannya Invansi Pemikiran (Ghazwul Fikri (GF))

 

Sasaran dari ghazwul fikri (GF) adalah sebagai berikut :

1. Agar kaum muslimin menjadi condong sedikit terhadap gaya, perilaku dan pola pikir barat, seperti dalam Q.S. Al Israa:73 yang artinya “ Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap kami, dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.Q.S. Al Israa:74 yang artinya “ Dan kalau kami tidak memperkuatkan (hati)mu, niscaya kamu hampir condong sedikit kepada mereka.” Q.S. Al Israa:75 yang artinya “ Kalau terjadi demikian, benar – benarlah kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat – lipat ganda didunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap kami.” Dan Q.S.Al Israa:76 yang artinya “ Dan sesungguhnya benar – benar mereka hamper membuatmu gelisah di negeri (mekah) untuk mengusirmu daripadanya dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tidak tinggal sebentar saja.”

2. Setelah kaum muslimin condong sedikit, tahapan selanjutnya adalah agar kaum muslimin mengikuti sebagian dari gaya, perilaku dan pola pikir mereka. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S.Ad Dukhan:25 yang artinya “ Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka tinggalkan.” Dan Q.S.Ad Dukhan:26 yang artinya “ Dan kebun – kebun serta tempat – tempat yang indah – indah.”

3. Pada tahap ini diharapkan kaum muslimin beriman pada sebagiannya ayat – ayat Al – Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW, tetapi kafir terhadap sebagian yang lainnya. Sebagaimana dalam Q.S.Al Baqarah:85 yang artinya “ Kemudian kamu (bani israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan dari pada kamu dari kampong halaman. Kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan tetapi jika mereka dating kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka. Padahal mengusir itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman pada sebagian Al Kitab(taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat, Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”

4. Pada tahap akhir, mereka menginginkan agar generasi kaum muslimin mengikuti syahwat dan meninggalkan shalat. Sebagaimana dalam Q.S.Maryam:59 yang artinya “ Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia – nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, maka mereka akan menemui kesesatan.”

 

 

G. Tujuan Ghazwul Fikri (GF)

 

1. Menghambat kemajuan umat islam agar tetap menjadi pengekor barat. Berbagai macam pendapat nyeleneh yang ditebarkan para orientalis lewat media cetak dan elektronik berhasil menyita perhatian umat islam dan mengetuk sebagian besar potensinya,baik untuk melakukan kajian, bantahan dan pelurusan.

2. Menjauhkan umat islam dari Al – Qur’an dan As Sunnah serta ajaran – ajarannya. Dengan keraguan – raguan dan penyesatan terhadap umat islam, ghazwul fikri (GF) menyeret orang – orang awam ke jurang yang memisahkan mereka dari keislaman – Nya. Bahkan ada sebagian yang keluar dari islam dan berpindah ke agama lain.

3. Memurtadkan umat islam. Inilah yang digambarkan Al – Qur’an dalam Surah Al Baqarah:217 yang artinya “ Mereka tidak henti – hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah sia – sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.”

 

H. Dampak Positif dan Negatif Gahzwul Fikri (GF)

 

Ø Dampak Positif dari Ghazwul Fikri (GF)

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempermudah memberikan pekerjaan pada manusia yang ada di Negara ini.

Ø Dampak Negatif dari Ghazwul Fikri (GF)

- Perusakan akhlak umat islam terutama yang masih berusia muda.

- Berusaha menggiring umat islam kepada kekafiran, khususnya umat islam yang tipis pemahaman keislamannya.

- Menjauhkan umat islam dari agamanya dan mendekatkannya pada kekafiran.



* tentang ini saya meempunyai pertanyaan : bolehkah Islam Menggunakan Cara Ini Untuk Mengebngkan Islam?
kepada pembaca yang budiman, mohon jawabannya melalui komentar.
terimakasih untuk admin

 

GHAZWUL FIKRI (PERANG PEMIKIRAN)

Late in April, after Native American actors walked off in disgust from the set of Adam Sandler’s latest film, a western sendup that its distributor, Netflix, has defended as being equally offensive to all, a glow of pride spread through several Native American communities.

Tantoo Cardinal, a Canadian indigenous actress who played Black Shawl in “Dances With Wolves,” recalled thinking to herself, “It’s come.” Larry Sellers, who starred as Cloud Dancing in the 1990s television show “Dr. Quinn, Medicine Woman,” thought, “It’s about time.” Jesse Wente, who is Ojibwe and directs film programming at the TIFF Bell Lightbox in Toronto, found himself encouraged and surprised. There are so few film roles for indigenous actors, he said, that walking off the set of a major production showed real mettle.

But what didn’t surprise Mr. Wente was the content of the script. According to the actors who walked off the set, the film, titled “The Ridiculous Six,” included a Native American woman who passes out and is revived after white men douse her with alcohol, and another woman squatting to urinate while lighting a peace pipe. “There’s enough history at this point to have set some expectations around these sort of Hollywood depictions,” Mr. Wente said.

The walkout prompted a rhetorical “What do you expect from an Adam Sandler film?,” and a Netflix spokesman said that in the movie, blacks, Mexicans and whites were lampooned as well. But Native American actors and critics said a broader issue was at stake. While mainstream portrayals of native peoples have, Mr. Wente said, become “incrementally better” over the decades, he and others say, they remain far from accurate and reflect a lack of opportunities for Native American performers. What’s more, as Native Americans hunger for representation on screen, critics say the absence of three-dimensional portrayals has very real off-screen consequences.

“Our people are still healing from historical trauma,” said Loren Anthony, one of the actors who walked out. “Our youth are still trying to figure out who they are, where they fit in this society. Kids are killing themselves. They’re not proud of who they are.” They also don’t, he added, see themselves on prime time television or the big screen. Netflix noted while about five people walked off the “The Ridiculous Six” set, 100 or so Native American actors and extras stayed.

Advertisement

But in interviews, nearly a dozen Native American actors and film industry experts said that Mr. Sandler’s humor perpetuated decades-old negative stereotypes. Mr. Anthony said such depictions helped feed the despondency many Native Americans feel, with deadly results: Native Americans have the highest suicide rate out of all the country’s ethnicities.

The on-screen problem is twofold, Mr. Anthony and others said: There’s a paucity of roles for Native Americans — according to the Screen Actors Guild in 2008 they accounted for 0.3 percent of all on-screen parts (those figures have yet to be updated), compared to about 2 percent of the general population — and Native American actors are often perceived in a narrow way.

In his Peabody Award-winning documentary “Reel Injun,” the Cree filmmaker Neil Diamond explored Hollywood depictions of Native Americans over the years, and found they fell into a few stereotypical categories: the Noble Savage, the Drunk Indian, the Mystic, the Indian Princess, the backward tribal people futilely fighting John Wayne and manifest destiny. While the 1990 film “Dances With Wolves” won praise for depicting Native Americans as fully fleshed out human beings, not all indigenous people embraced it. It was still told, critics said, from the colonialists’ point of view. In an interview, John Trudell, a Santee Sioux writer, actor (“Thunderheart”) and the former chairman of the American Indian Movement, described the film as “a story of two white people.”

“God bless ‘Dances with Wolves,’ ” Michael Horse, who played Deputy Hawk in “Twin Peaks,” said sarcastically. “Even ‘Avatar.’ Someone’s got to come save the tribal people.”

Dan Spilo, a partner at Industry Entertainment who represents Adam Beach, one of today’s most prominent Native American actors, said while typecasting dogs many minorities, it is especially intractable when it comes to Native Americans. Casting directors, he said, rarely cast them as police officers, doctors or lawyers. “There’s the belief that the Native American character should be on reservations or riding a horse,” he said.

“We don’t see ourselves,” Mr. Horse said. “We’re still an antiquated culture to them, and to the rest of the world.”

Ms. Cardinal said she was once turned down for the role of the wife of a child-abusing cop because the filmmakers felt that casting her would somehow be “too political.”

Another sore point is the long run of white actors playing American Indians, among them Burt Lancaster, Rock Hudson, Audrey Hepburn and, more recently, Johnny Depp, whose depiction of Tonto in the 2013 film “Lone Ranger,” was viewed as racist by detractors. There are, of course, exceptions. The former A&E series “Longmire,” which, as it happens, will now be on Netflix, was roundly praised for its depiction of life on a Northern Cheyenne reservation, with Lou Diamond Phillips, who is of Cherokee descent, playing a Northern Cheyenne man.

Others also point to the success of Mr. Beach, who played a Mohawk detective in “Law & Order: Special Victims Unit” and landed a starring role in the forthcoming D C Comics picture “Suicide Squad.” Mr. Beach said he had come across insulting scripts backed by people who don’t see anything wrong with them.

“I’d rather starve than do something that is offensive to my ancestral roots,” Mr. Beach said. “But I think there will always be attempts to drawn on the weakness of native people’s struggles. The savage Indian will always be the savage Indian. The white man will always be smarter and more cunning. The cavalry will always win.”

The solution, Mr. Wente, Mr. Trudell and others said, lies in getting more stories written by and starring Native Americans. But Mr. Wente noted that while independent indigenous film has blossomed in the last two decades, mainstream depictions have yet to catch up. “You have to stop expecting for Hollywood to correct it, because there seems to be no ability or desire to correct it,” Mr. Wente said.

There have been calls to boycott Netflix but, writing for Indian Country Today Media Network, which first broke news of the walk off, the filmmaker Brian Young noted that the distributor also offered a number of films by or about Native Americans.

The furor around “The Ridiculous Six” may drive more people to see it. Then one of the questions that Mr. Trudell, echoing others, had about the film will be answered: “Who the hell laughs at this stuff?”

Native American Actors Work to Overcome a Long-Documented Bias

Artikel lainnya »