A. Pengertian Ghazwul
Fikri (GF)
Ø Secara Bahasa
Ghazwul Fikri
terdiri dari dua suku kata yaitu Ghazwah dan Fikr. Ghazwah berarti
serangan, serbuan atau invansi. Sedangkan Fikr berarti pemikiran. Jadi, menurut bahasa
Ghazwul Fikri adalah serangan atau serbuan didalam qital (perang) atau Ghazwul Fikri
secara bahasa diartikan sebagai invansi pemikiran.
Ø Secara Istilah
Secara istilah, Ghazwul Fikri adalah penyerangan dengan
berbagai cara terhadap pemikiran umat islam guna merubah apa yang ada didalamnya sehingga tidak
lagi bisa mengeluarkan darinya hal – hal yang benar karena telah tercampur aduk dengan hal
– hal yang tidak islami.
B. Makna Invansi Pemikiran (Ghazwul Fikri
(GF))
Invansi / serangan pemikiran atau dalam bahasa arab dinamakan ghazwul fikri
dan dalam bahasa inggris disebut dengan brain washing, thought control, menticide adalah
istilah yang menunjukkan kepada suatu program yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis
dan terstruktur oleh musuh – musuh islam untuk melakukan pendangkalan pemikiran dan cuci
otak kepada kaum muslimin. Hal ini mereka lakukan agar kaum muslimin tunduk dan mengikuti cara
hidup mereka sehingga melanggengkan kepentingan mereka untuk menjajah / mengeksploitasi sumber
daya milik kaum muslimin.
C. Kelebihan – Kelebihan Invansi
Pemikiran (Ghazwul Fikri (GF))
Invansi pemikiran atau ghazwul
fikri (GF) dilakukan oleh para musuh islam dengan pertimbangan – pertimbangan bahwa
dibandingkan dengan melakukan peperangan militer atau fisik, maka ghazwul fikri (GF)
memiliki kelebihan – kelebihan sebagai berikut :
Aspek
|
Perang Fisik
|
Ghazwul Fikri
|
Biaya
|
Sangat mahal
|
Murah dan dikembalikan
|
Jangkauan
|
Terbatas di front
|
Sampai ke rumah - rumah
|
Obyek
|
Obyek merasakan
|
Sama sekali tidak merasa
|
Dampak
|
Mengadakan perlawanan
|
Menjadikan
idola
|
Persenjataan
|
Senjata
berat
|
Slogan, teori, iklan
|
D. Sejarah Ghazwul Fikri (GF)
Sejarah Ghazwul Fikri (GF) sudah ada setua umur manusia, makhluk yang pertama
kali melakukannya adalah iblis laknatullah ketika berkata kepada Adam as., “
Sesungguhnya Allah melarang kalian memakan buah ini supaya kalian berdua tidak menjadi
malaikat dan tidak dapat hidup abadi. “ (Q.S.Al –
A’Raaf:20)
Dalam perkataannya ini iblis
tidak menyatakan bahwa Allah tidak melarang kalian…karena itu akan bertentangan dengan
informasi yang telah diterima oleh Adam as., tetapi iblis mengemas dan menyimpangkan makna
perintah Allah SWT. Sesuai dengan keinginannya, yaitu dengan menambahkan alas an pelarangan Allah
yang dibuat sendiri. Iblis tahu bahwa Adam as tidak punya pengetahuan tentang sebab tersebut.
Demikianlah para murid – murid iblis dimasa kini selalu berusaha melakukan ghazwul
fikri dengan menyimpangkan fakta dan informasi yang ada sesuai dengan maksud jahatnya. Setan
melakukannya dengan cara yang sangat halus dan licin. Akibatnya, hanya orang – orang yang
dirahmati Allah SWT yang mampu mengetahuinya.
E.
Bidang – Bidang Yang di serang
1. Pendidikan
Pendidikan adalah aspek penting yang menentukan maju atau mundurnya
suatu bangsa. Oleh sebab itu, bidang pendidikan merupakan target utama dari ghazwul fikri
(GF). Ghazwul fikri (GF) yang dilakukan dibidang pendidikan, diantaranya dengan
membuat sedikitnya porsi pendidikan agama di sekolah – sekolah umum (hanya 2 jam
sepekan).
Hal ini berdampak fatal pada fondasi agama yang
dimiliki oleh para siswa. Dengan lemahnya basis agama mereka, maka terjadilah tawuran, seks bebas
pelajar yang meningkatkan AIDS, penyalahgunaan narkoba, vandalism, dan sebagaimananya. Ini adalah
dampak jangka pendek.
Sedangkan dampak jangka panjangnya
lebih berbahaya, yaitu rendahnya kualitas pemahaman agama para calon pemimpin bangsa dimasa
depan. Ghazwul fikri (GF) lainnya dibidang ini adalah pada teknis belajarnya yang campur
baur antara pria dan wanita yang jelas tidak sesuai dan banyak menimbulkan pelanggaran terhadap
syariat.
2.
Sejarah
Sejarah yang diajarkan perlu ditinjau ulang dan
disesuaikan dengan semangat islam. Materi tentang sejarah dunia dan ilmu pengetahuan telah
ghazwul fikri (GF) habis – habisan sehingga hamper tidak ditemui sama sekali
pemaparan tentang sejarah para ilmuan islam dan sumbangannya dalam perkembangan ilmu
pengetahuan.
Dalam sejarah yang dibahas hanyalah ilmuan
kafir yang pada akhirnya membuat generasi muda menjadi silau dengan tokoh – tokoh kafir dan
minder terhadap sejarahnya sendiri. Ketika berbicara tentang sejarah islam, di benak mereka
hanyalah terbayang sejarah peperangan dengan pedang dan darah sebagaimana yang selalu digambarkan
dalam kaca mata barat.
Hal ini lebih diperparah dengan
sejarah nasional dan penamaan perguruan tinggi, gedung – gedung, perlambangan, penghargaan
dan pusat ilmu lainnya dengan bahasa Hindu Sanksekerta, sehinga semakin hilanglah mutiara
kegemilangan islam dihati para generasi muda.
3. Ekonomi
Ghazwul
fikri (GF) yang terjadi dibidang ekonomi adalah konsekuensi dari motto ekonomi yaitu,
mencari keuntungan sebesar – besarnya dengan pengorbanan sekecil – kecilnya. Ketika
motto ini ditelan habis – habisan tanpa dilakukan filterisasi, maka tidak lagi
memperhatikan halal atau haram, yang penting adalah bagaimana supaya untung sebesar –
besarnya.
Hal lain yang perlu dicermati dalam system
ekonomi kapitalisme, yaitu monopoli, riba dan pemihakan elit kepada para konglomerat. Mengenai
monopoli sudah tidak perlu dibahas lagi, cukup jika dikatakan bahwa Amerika Serikat sendiri telah
diberlakukan UU anti – trust (bagaimana di Indonesia?). Tentang riba dan haramnya
bunga bank rasanya bukan pada tempatnya jika dibahas disini, cukup dikatakan bahwa munculnya dan
berkembangnya bank tanpa bunga (bagi hasil), fatwa MUI, fatwa Universita Al Azhar Mesir,
kesepakatan para ulama islam dunia membuktikan bahaya bunga bank dan haramnya dalam islam.
Tentang keberpihakan kepada para konglomerat, semoga dengan perkembangan era reformasi saat ini
dapat diperbaiki.
4. Ilmu Alam dan Sosial
Pada bidang ilmu
– ilmu alam, ghazwul fikrii terbesar yang dilakukan adlah dengan dilakukannya
sekularisasi antara ilmu pengetahuan dengan ilmu agama. Bahaya lainnya adalah penisbatan teori
– teori ilmu pengetahuan kepada para ilmuan tanpa mengembalikannya kepada sang pemberi dan
pemilik ilmu, sehingga mengakibatkan kekaguman dan pujian hanya berhenti pada diri para ilmuwan
dan tidak bermuara kepada Allah SWT.
Hal lain adalah
berkembangnya berbagai teori – teori sesaat yang sebenarnya belum diterima secara ilmiah,
tetapi disebarkan secara besar – besaran oleh kelompok – kelompok tertentu untuk
menimbulkan keraguan pada agama. Misalnya, teori tentang asal usul makhluk hidup (the origins
of species) dari Darwin (yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari penemuan Herbert Spencer)
yang sebenarnya masih ada the missing link yang belum dapat menghubungkan antara manusia
dank era, tapi sudah “ diindoktrinasikan “ kemana – mana. Atau, teori Libido
seksualnya Freud, yang menyatakan bahwa jika manusia tidak dibebaskan sebebas – bebasnya
keinginan seksualnya akan mengakibatkan terjadinya gangguan kejiwaan. Teori ini sudah dibantah
secara ilmiah dan pencetusnya sendiri (Freud) yang terus menggembar – gemborkan kebebasan
seksual, ternyata mati karena menderita penyakit kejiwaan (psikopath).
5. Bahasa
Ghazwul fikri (GF) dibidang bahasa adalah dengantidak
diajarkannya bahasa Al – Qur’an di sekolah – sekolah karena menganggapnya tidak
perlu. Hal yang nampaknya remeh ini sebenarnya sanagt besar akibatnya dan menjadi bencana bagi
kaum muslimin Indonesia secara umum. Dengan tidak memahami Al – Qur’an, mayoritas
kaum muslimin menjadi tidak mengerti apa kandungan Al – Qur’an, seperti firman Allah
dalam surah Al Baqarah:78 artinya “ Dan diantara mereka ada yang buta
huruf, tidak mengetahui Al – Kitab (taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka
hanya menduga – duga “. Akibatnya, Al – Qur’an menjadi sekedar
bacaan tanpa arti (Al – Qur’an hanya dinikmati iramanya seperti layaknya lagu –
lagu dan nyayian belaka, yang akhirnya ditinggalkan seperti yang disebutkan dalam surah
Al Furqaan:30 yang artinya “ Berkata Rasul : Ya tuhanku, sesungguhnya
kaumku menjadikan Al – Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan “ dan surah
Al Furqaan:31 yang artinya “ Dan seperti itulah, setelah kami adakan
bagi tiap – tiap nabi, musuh dari orang – orang yang berdosa dan cukuplah Tuhanmu
menjadi pemberi petunjuk dan penolong. “)
Dampak lain dari kebodohan terhadap bahasa Al – Qur’an adalah terputusnya
hubungan kaum muslimin dengan perbendaharaan ilmu – ilmu keislaman yang telah disusun dan
dibukukan selama hamper 1000 tahun oleh para pakar dan ilmuwan islam terdahulu yang jumlahnya
mencapai jutaan judul buku, mencakup bidang – bidang akidah, tafsir, hadist, fiqih, sirah,
tarikh, ulumul qur’an, tazkiyyah dan sebagainya.
6. Hukum
Ghazwul fikri (GF) pada aspek hukum adalah penggunaan acuan hukum warisan
kolonial yang masih dipertahankan sebagai hukum yang berlaku, reduksi, dan penghapusan hukum
Allah SWT dan Rasul – Nya. Rasa takut dan alergi terhadap segala yang berbau syariat islam
merupakan keberhasilan ghazwul fikri (GF) dibidang ini. Penggambaran potong tangan bagi
pencuri dan rajam bagi penzina selalu ditonjolkan saat pembicaraan – pembicaraan tentang
kemungkinan adopsi terhadap beberapa hukum islam. Mereka melupakan bahwa hukum islam berpihak
(melindungi) korban kejahatan, sehingga hukuman keras dijatuhkan kepada pelaku kejahatan agar
perbuatannya tidak terulang dan orang lain takut untuk berbuat yang sama.
Sebaliknya, hukum barat berpihak (melindungi) pelaku kejahatan, sehingga
dengan hukuman tersebut memungkinkannya untuk mengulang lagi kejahatannya karena ringannya
hukuman tersebut. Laporan menunjukkan bahwa tingkat perkosaan yang terjadi di Kanada selama
sehari sama dengan kejahatan yang sama di Kuwait selama 12 tahun, bahkan pooling yang
dilakukan di masyarakat Amerika Serikat menunjukkan bahwa 1 dari 3 masyarakat Amerika Serikat
menyetujui dijatuhkannya hukuman mati untuk pemerkosa.
7. Pengiriman pelajar dan mahasiswa ke
Luar Negeri
Ghazwul fikri (GF) dibidang ini
terjadi dalam dua aspek, yaitu : Brain drain dan Brain Washing. Brain
drain adalah pelarian para intelektual dari negara – negara islam ke negara –
negara maju karena insentif yang lebih besar dan fasilitas hidup yang lebih mewah bagi para
pekerja disana. Hal ini menyebabkan lambatnya pembangunan di negara – negara islam dan
semakin cepatnya kemajuan di negara – negara barat.
Data penelitian tahun 1996 menyebutkan bahwa perbandingan SDM bergelar doctor (S3) di
Indonesia baru 60 per sejuta penduduk, di Amerika Serikat dan Eropa antara 2500 – 3000
orang per sejuta, dan di Israel mencapai 16.000 per sejuta penduduk.
Sementara brain washing (cuci otak) dialami oleh para
intelektual yang sebagian besar berangkat ke negara – negara barat tanpa dibekali dengan
dasar – dasar keislaman yang cukup. Akibatnya, mereka pulang dengan membawa pola piker dan
perilaku yang bertentangan dengan nilai – nilai islam. Bahkan secara sadar atau tidak,
mereka ikut andil dalam membantu melanggengkan kepentingan barat dinegara mereka.
8. Media massa
Berbicara mengenai ghazwul fikri (GF) yang terjadi dalam
media massa, maka dapat dipilah pada aspek – aspek sebagai berikut :
· Aspek kehadirannya
Terjadinya perubahan penjadwalan kegiatan sehari – hari dalam keluarga muslim,
missal TV. Dulu selepas maghrib, anak – anak biasanya mengaji dan belajar agama. Sekarang,
selepas maghrib anak – anak menonton acara – acara TV yang kebanyakan merusak dan
tidak bermanfaat. Sementara bagi para remaja dan orang tua dibandingkan dating ke pengajian dan
majlis – majlis taklim, mereka lebih senang menghabiskan waktunya dengan menonton TV.
Sebenarnya TV dapat menjadi srana dakwah yang luar biasa
(sesuai dengan teori komunikasi yang menyatkan bahwa media audio – visual memiliki pengaruh
yang tertinggi dalam membentuk kepribadian baik pada tingkat individu maupun masyarakat) asal
dikemas dan dirancang sesuai dengan nilai – nilai islam.
· Aspek isinya
Berbicara mengenai isi
yang ditampilkan oleh media massa yang merupakan produk ghazwul fikri (GF) diantaranya
adalah mengenai penokohan – penokohan atau orang – orang yang diidolakan. Media massa
yang ada tidak berusaha ikut mendidik bangsa dan masyarakat dengan menokohkan para ulama,
ilmuwan, dan orang – orang yang dapat mendorong membangun bangsa agar mencapai kemajuan
IMTAK dan IPTEK sebagaimana yang digembar – gemborkan. Tetapi sebaliknya, justru tokoh yang
terus menerus diekspos dan ditampilkan adalah para selebriti yang menjalankan gaya hidup borjuis,
menghambur – hamburkan uang (tabdzir), jauh dari memiliki IPTEK apalagi nilai
– nilai agama.
Hal ini jelas besar dampaknya pada
generasi muda dalam memilih dan menentukan gaya hidup, cita – citanya dan tentunya pada
kualitas bangsa dan Negara. Rpoduk lain dari ghazwul fikri (GF) yang menonjol dalam
media TV, misalnya porsi film – film islami yang dapat dikatakan tidak ada. Film yang
diputar 90% adalah film bergaya barat, sisanya adalah film nasional (yang juga bergaya barat),
film – film mandarin, dan film – film india.
F. Sasaran
dilakukannya Invansi Pemikiran (Ghazwul Fikri (GF))
Sasaran dari ghazwul
fikri (GF) adalah sebagai berikut :
1. Agar kaum
muslimin menjadi condong sedikit terhadap gaya, perilaku dan pola pikir barat, seperti dalam
Q.S. Al Israa:73 yang artinya “ Dan sesungguhnya mereka hampir
memalingkan kamu dari apa yang telah kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara
bohong terhadap kami, dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang
setia. “ Q.S. Al Israa:74 yang artinya “ Dan kalau kami
tidak memperkuatkan (hati)mu, niscaya kamu hampir condong sedikit kepada mereka.”
Q.S. Al Israa:75 yang artinya “ Kalau terjadi demikian, benar –
benarlah kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat – lipat ganda didunia ini dan begitu
(pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun
terhadap kami.” Dan Q.S.Al Israa:76 yang artinya “ Dan
sesungguhnya benar – benar mereka hamper membuatmu gelisah di negeri (mekah) untuk
mengusirmu daripadanya dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tidak tinggal
sebentar saja.”
2. Setelah kaum muslimin
condong sedikit, tahapan selanjutnya adalah agar kaum muslimin mengikuti sebagian dari gaya,
perilaku dan pola pikir mereka. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S.Ad Dukhan:25
yang artinya “ Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka
tinggalkan.” Dan Q.S.Ad Dukhan:26 yang artinya “ Dan kebun
– kebun serta tempat – tempat yang indah – indah.”
3. Pada tahap ini diharapkan kaum muslimin beriman pada sebagiannya ayat
– ayat Al – Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW, tetapi kafir terhadap sebagian
yang lainnya. Sebagaimana dalam Q.S.Al Baqarah:85 yang artinya “
Kemudian kamu (bani israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan dari
pada kamu dari kampong halaman. Kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan
permusuhan tetapi jika mereka dating kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka. Padahal
mengusir itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman pada sebagian Al Kitab(taurat) dan
ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari
padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan
kepada siksa yang sangat berat, Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”
4. Pada tahap akhir, mereka menginginkan agar generasi kaum
muslimin mengikuti syahwat dan meninggalkan shalat. Sebagaimana dalam Q.S.Maryam:59
yang artinya “ Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang
menyia – nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, maka mereka akan menemui
kesesatan.”
G. Tujuan Ghazwul Fikri (GF)
1. Menghambat kemajuan
umat islam agar tetap menjadi pengekor barat. Berbagai macam pendapat nyeleneh yang ditebarkan
para orientalis lewat media cetak dan elektronik berhasil menyita perhatian umat islam dan
mengetuk sebagian besar potensinya,baik untuk melakukan kajian, bantahan dan pelurusan.
2. Menjauhkan umat islam dari Al – Qur’an dan As
Sunnah serta ajaran – ajarannya. Dengan keraguan – raguan dan penyesatan terhadap
umat islam, ghazwul fikri (GF) menyeret orang – orang awam ke jurang yang
memisahkan mereka dari keislaman – Nya. Bahkan ada sebagian yang keluar dari islam dan
berpindah ke agama lain.
3. Memurtadkan umat islam. Inilah
yang digambarkan Al – Qur’an dalam Surah Al Baqarah:217 yang artinya
“ Mereka tidak henti – hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat)
mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang
murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah sia –
sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal
didalamnya.”
H.
Dampak Positif dan Negatif Gahzwul Fikri (GF)
Ø Dampak Positif
dari Ghazwul Fikri (GF)
Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang mempermudah memberikan pekerjaan pada manusia yang ada di Negara ini.
Ø Dampak Negatif dari Ghazwul Fikri (GF)
- Perusakan akhlak umat islam terutama yang masih berusia muda.
- Berusaha menggiring umat islam kepada kekafiran, khususnya umat
islam yang tipis pemahaman keislamannya.
- Menjauhkan umat islam dari agamanya dan
mendekatkannya pada kekafiran.
* tentang ini saya
meempunyai pertanyaan : bolehkah Islam Menggunakan Cara Ini Untuk Mengebngkan Islam?
kepada pembaca yang budiman, mohon jawabannya melalui komentar.
terimakasih untuk
admin
GHAZWUL FIKRI (PERANG PEMIKIRAN)
Late in April, after Native American actors walked off in disgust from the set of Adam Sandler’s latest film, a western sendup that its distributor, Netflix, has defended as being equally offensive to all, a glow of pride spread through several Native American communities.
Tantoo Cardinal, a Canadian indigenous actress who played Black Shawl in “Dances With Wolves,” recalled thinking to herself, “It’s come.” Larry Sellers, who starred as Cloud Dancing in the 1990s television show “Dr. Quinn, Medicine Woman,” thought, “It’s about time.” Jesse Wente, who is Ojibwe and directs film programming at the TIFF Bell Lightbox in Toronto, found himself encouraged and surprised. There are so few film roles for indigenous actors, he said, that walking off the set of a major production showed real mettle.
But what didn’t surprise Mr. Wente was the content of the script. According to the actors who walked off the set, the film, titled “The Ridiculous Six,” included a Native American woman who passes out and is revived after white men douse her with alcohol, and another woman squatting to urinate while lighting a peace pipe. “There’s enough history at this point to have set some expectations around these sort of Hollywood depictions,” Mr. Wente said.
The walkout prompted a rhetorical “What do you expect from an Adam Sandler film?,” and a Netflix spokesman said that in the movie, blacks, Mexicans and whites were lampooned as well. But Native American actors and critics said a broader issue was at stake. While mainstream portrayals of native peoples have, Mr. Wente said, become “incrementally better” over the decades, he and others say, they remain far from accurate and reflect a lack of opportunities for Native American performers. What’s more, as Native Americans hunger for representation on screen, critics say the absence of three-dimensional portrayals has very real off-screen consequences.
“Our people are still healing from historical trauma,” said Loren Anthony, one of the actors who walked out. “Our youth are still trying to figure out who they are, where they fit in this society. Kids are killing themselves. They’re not proud of who they are.” They also don’t, he added, see themselves on prime time television or the big screen. Netflix noted while about five people walked off the “The Ridiculous Six” set, 100 or so Native American actors and extras stayed.
But in interviews, nearly a dozen Native American actors and film industry experts said that Mr. Sandler’s humor perpetuated decades-old negative stereotypes. Mr. Anthony said such depictions helped feed the despondency many Native Americans feel, with deadly results: Native Americans have the highest suicide rate out of all the country’s ethnicities.
The on-screen problem is twofold, Mr. Anthony and others said: There’s a paucity of roles for Native Americans — according to the Screen Actors Guild in 2008 they accounted for 0.3 percent of all on-screen parts (those figures have yet to be updated), compared to about 2 percent of the general population — and Native American actors are often perceived in a narrow way.
In his Peabody Award-winning documentary “Reel Injun,” the Cree filmmaker Neil Diamond explored Hollywood depictions of Native Americans over the years, and found they fell into a few stereotypical categories: the Noble Savage, the Drunk Indian, the Mystic, the Indian Princess, the backward tribal people futilely fighting John Wayne and manifest destiny. While the 1990 film “Dances With Wolves” won praise for depicting Native Americans as fully fleshed out human beings, not all indigenous people embraced it. It was still told, critics said, from the colonialists’ point of view. In an interview, John Trudell, a Santee Sioux writer, actor (“Thunderheart”) and the former chairman of the American Indian Movement, described the film as “a story of two white people.”
“God bless ‘Dances with Wolves,’ ” Michael Horse, who played Deputy Hawk in “Twin Peaks,” said sarcastically. “Even ‘Avatar.’ Someone’s got to come save the tribal people.”
Dan Spilo, a partner at Industry Entertainment who represents Adam Beach, one of today’s most prominent Native American actors, said while typecasting dogs many minorities, it is especially intractable when it comes to Native Americans. Casting directors, he said, rarely cast them as police officers, doctors or lawyers. “There’s the belief that the Native American character should be on reservations or riding a horse,” he said.
“We don’t see ourselves,” Mr. Horse said. “We’re still an antiquated culture to them, and to the rest of the world.”
Ms. Cardinal said she was once turned down for the role of the wife of a child-abusing cop because the filmmakers felt that casting her would somehow be “too political.”
Another sore point is the long run of white actors playing American Indians, among them Burt Lancaster, Rock Hudson, Audrey Hepburn and, more recently, Johnny Depp, whose depiction of Tonto in the 2013 film “Lone Ranger,” was viewed as racist by detractors. There are, of course, exceptions. The former A&E series “Longmire,” which, as it happens, will now be on Netflix, was roundly praised for its depiction of life on a Northern Cheyenne reservation, with Lou Diamond Phillips, who is of Cherokee descent, playing a Northern Cheyenne man.
Others also point to the success of Mr. Beach, who played a Mohawk detective in “Law & Order: Special Victims Unit” and landed a starring role in the forthcoming D C Comics picture “Suicide Squad.” Mr. Beach said he had come across insulting scripts backed by people who don’t see anything wrong with them.
“I’d rather starve than do something that is offensive to my ancestral roots,” Mr. Beach said. “But I think there will always be attempts to drawn on the weakness of native people’s struggles. The savage Indian will always be the savage Indian. The white man will always be smarter and more cunning. The cavalry will always win.”
The solution, Mr. Wente, Mr. Trudell and others said, lies in getting more stories written by and starring Native Americans. But Mr. Wente noted that while independent indigenous film has blossomed in the last two decades, mainstream depictions have yet to catch up. “You have to stop expecting for Hollywood to correct it, because there seems to be no ability or desire to correct it,” Mr. Wente said.
There have been calls to boycott Netflix but, writing for Indian Country Today Media Network, which first broke news of the walk off, the filmmaker Brian Young noted that the distributor also offered a number of films by or about Native Americans.
The furor around “The Ridiculous Six” may drive more people to see it. Then one of the questions that Mr. Trudell, echoing others, had about the film will be answered: “Who the hell laughs at this stuff?”
Native American Actors Work to Overcome a Long-Documented Bias