MAU UMROH BERSAMA TRAVEL TERBAIK DI INDONESIA ALHIJAZ INDO WISTA..?

YOOK LANGSUNG WHATSAPP AJA KLIK DISINI 811-1341-212
 

umroh maret

Setiap jamaah yang berangkat umroh atau haji khusus Call/Wa. 08111-34-1212 pasti menginginkan perjalanan ibadah haji plus atau umrohnya bisa terlaksana dengan lancar, nyaman dan aman sehingga menjadi mabrur. Demi mewujudkan kami sangat memahami keinginan para jamaah sehingga merancang program haji onh plus dan umroh dengan tepat. Jika anda ingin melaksanakan Umrah dan Haji dengan tidak dihantui rasa was-was dan serta ketidakpastian, maka Alhijaz Indowisata Travel adalah solusi sebagai biro perjalanan anda yang terbaik dan terpercaya.?agenda umroh 12 hari

Biro Perjalanan Haji dan Umrah yang memfokuskan diri sebagai biro perjalanan yang bisa menjadi sahabat perjalanan ibadah Anda, yang sudah sangat berpengalaman dan dipercaya sejak tahun 2010, mengantarkan tamu Allah minimal 5 kali dalam sebulan ke tanah suci tanpa ada permasalahan. Paket yang tersedia sangat beragam mulai paket umroh 9 hari, 12 hari, umroh wisata muslim turki, dubai, aqso. Biaya umroh murah yang sudah menggunakan rupiah sehingga jamaah tidak perlu repot dengan nilai tukar kurs asing. paket umroh Jakarta Barat

A. Pengertian Ghazwul Fikri (GF)

 

Ø Secara Bahasa

Ghazwul Fikri terdiri dari dua suku kata yaitu Ghazwah dan Fikr. Ghazwah berarti serangan, serbuan atau invansi. Sedangkan Fikr berarti pemikiran. Jadi, menurut bahasa Ghazwul Fikri adalah serangan atau serbuan didalam qital (perang) atau Ghazwul Fikri secara bahasa diartikan sebagai invansi pemikiran.

 

Ø Secara Istilah

Secara istilah, Ghazwul Fikri adalah penyerangan dengan berbagai cara terhadap pemikiran umat islam guna merubah apa yang ada didalamnya sehingga tidak lagi bisa mengeluarkan darinya hal – hal yang benar karena telah tercampur aduk dengan hal – hal yang tidak islami.

 

B. Makna Invansi Pemikiran (Ghazwul Fikri (GF))

 

Invansi / serangan pemikiran atau dalam bahasa arab dinamakan ghazwul fikri dan dalam bahasa inggris disebut dengan brain washing, thought control, menticide adalah istilah yang menunjukkan kepada suatu program yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis dan terstruktur oleh musuh – musuh islam untuk melakukan pendangkalan pemikiran dan cuci otak kepada kaum muslimin. Hal ini mereka lakukan agar kaum muslimin tunduk dan mengikuti cara hidup mereka sehingga melanggengkan kepentingan mereka untuk menjajah / mengeksploitasi sumber daya milik kaum muslimin.

 

C. Kelebihan – Kelebihan Invansi Pemikiran (Ghazwul Fikri (GF))

 

Invansi pemikiran atau ghazwul fikri (GF) dilakukan oleh para musuh islam dengan pertimbangan – pertimbangan bahwa dibandingkan dengan melakukan peperangan militer atau fisik, maka ghazwul fikri (GF) memiliki kelebihan – kelebihan sebagai berikut :

Aspek

Perang Fisik

Ghazwul Fikri

Biaya

Sangat mahal

Murah dan dikembalikan

Jangkauan

Terbatas di front

Sampai ke rumah - rumah

Obyek

Obyek merasakan

Sama sekali tidak merasa

Dampak

Mengadakan perlawanan

Menjadikan idola

Persenjataan

Senjata berat

Slogan, teori, iklan

 

D. Sejarah Ghazwul Fikri (GF)

 

Sejarah Ghazwul Fikri (GF) sudah ada setua umur manusia, makhluk yang pertama kali melakukannya adalah iblis laknatullah ketika berkata kepada Adam as., “ Sesungguhnya Allah melarang kalian memakan buah ini supaya kalian berdua tidak menjadi malaikat dan tidak dapat hidup abadi. “ (Q.S.Al – A’Raaf:20)

Dalam perkataannya ini iblis tidak menyatakan bahwa Allah tidak melarang kalian…karena itu akan bertentangan dengan informasi yang telah diterima oleh Adam as., tetapi iblis mengemas dan menyimpangkan makna perintah Allah SWT. Sesuai dengan keinginannya, yaitu dengan menambahkan alas an pelarangan Allah yang dibuat sendiri. Iblis tahu bahwa Adam as tidak punya pengetahuan tentang sebab tersebut. Demikianlah para murid – murid iblis dimasa kini selalu berusaha melakukan ghazwul fikri dengan menyimpangkan fakta dan informasi yang ada sesuai dengan maksud jahatnya. Setan melakukannya dengan cara yang sangat halus dan licin. Akibatnya, hanya orang – orang yang dirahmati Allah SWT yang mampu mengetahuinya.

 

 

E. Bidang – Bidang Yang di serang

 

1. Pendidikan

Pendidikan adalah aspek penting yang menentukan maju atau mundurnya suatu bangsa. Oleh sebab itu, bidang pendidikan merupakan target utama dari ghazwul fikri (GF). Ghazwul fikri (GF) yang dilakukan dibidang pendidikan, diantaranya dengan membuat sedikitnya porsi pendidikan agama di sekolah – sekolah umum (hanya 2 jam sepekan).

Hal ini berdampak fatal pada fondasi agama yang dimiliki oleh para siswa. Dengan lemahnya basis agama mereka, maka terjadilah tawuran, seks bebas pelajar yang meningkatkan AIDS, penyalahgunaan narkoba, vandalism, dan sebagaimananya. Ini adalah dampak jangka pendek.

Sedangkan dampak jangka panjangnya lebih berbahaya, yaitu rendahnya kualitas pemahaman agama para calon pemimpin bangsa dimasa depan. Ghazwul fikri (GF) lainnya dibidang ini adalah pada teknis belajarnya yang campur baur antara pria dan wanita yang jelas tidak sesuai dan banyak menimbulkan pelanggaran terhadap syariat.

 

2. Sejarah

Sejarah yang diajarkan perlu ditinjau ulang dan disesuaikan dengan semangat islam. Materi tentang sejarah dunia dan ilmu pengetahuan telah ghazwul fikri (GF) habis – habisan sehingga hamper tidak ditemui sama sekali pemaparan tentang sejarah para ilmuan islam dan sumbangannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Dalam sejarah yang dibahas hanyalah ilmuan kafir yang pada akhirnya membuat generasi muda menjadi silau dengan tokoh – tokoh kafir dan minder terhadap sejarahnya sendiri. Ketika berbicara tentang sejarah islam, di benak mereka hanyalah terbayang sejarah peperangan dengan pedang dan darah sebagaimana yang selalu digambarkan dalam kaca mata barat.

Hal ini lebih diperparah dengan sejarah nasional dan penamaan perguruan tinggi, gedung – gedung, perlambangan, penghargaan dan pusat ilmu lainnya dengan bahasa Hindu Sanksekerta, sehinga semakin hilanglah mutiara kegemilangan islam dihati para generasi muda.

 

3. Ekonomi

Ghazwul fikri (GF) yang terjadi dibidang ekonomi adalah konsekuensi dari motto ekonomi yaitu, mencari keuntungan sebesar – besarnya dengan pengorbanan sekecil – kecilnya. Ketika motto ini ditelan habis – habisan tanpa dilakukan filterisasi, maka tidak lagi memperhatikan halal atau haram, yang penting adalah bagaimana supaya untung sebesar – besarnya.

Hal lain yang perlu dicermati dalam system ekonomi kapitalisme, yaitu monopoli, riba dan pemihakan elit kepada para konglomerat. Mengenai monopoli sudah tidak perlu dibahas lagi, cukup jika dikatakan bahwa Amerika Serikat sendiri telah diberlakukan UU anti – trust (bagaimana di Indonesia?). Tentang riba dan haramnya bunga bank rasanya bukan pada tempatnya jika dibahas disini, cukup dikatakan bahwa munculnya dan berkembangnya bank tanpa bunga (bagi hasil), fatwa MUI, fatwa Universita Al Azhar Mesir, kesepakatan para ulama islam dunia membuktikan bahaya bunga bank dan haramnya dalam islam. Tentang keberpihakan kepada para konglomerat, semoga dengan perkembangan era reformasi saat ini dapat diperbaiki.

 

4. Ilmu Alam dan Sosial

Pada bidang ilmu – ilmu alam, ghazwul fikrii terbesar yang dilakukan adlah dengan dilakukannya sekularisasi antara ilmu pengetahuan dengan ilmu agama. Bahaya lainnya adalah penisbatan teori – teori ilmu pengetahuan kepada para ilmuan tanpa mengembalikannya kepada sang pemberi dan pemilik ilmu, sehingga mengakibatkan kekaguman dan pujian hanya berhenti pada diri para ilmuwan dan tidak bermuara kepada Allah SWT.

Hal lain adalah berkembangnya berbagai teori – teori sesaat yang sebenarnya belum diterima secara ilmiah, tetapi disebarkan secara besar – besaran oleh kelompok – kelompok tertentu untuk menimbulkan keraguan pada agama. Misalnya, teori tentang asal usul makhluk hidup (the origins of species) dari Darwin (yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari penemuan Herbert Spencer) yang sebenarnya masih ada the missing link yang belum dapat menghubungkan antara manusia dank era, tapi sudah “ diindoktrinasikan “ kemana – mana. Atau, teori Libido seksualnya Freud, yang menyatakan bahwa jika manusia tidak dibebaskan sebebas – bebasnya keinginan seksualnya akan mengakibatkan terjadinya gangguan kejiwaan. Teori ini sudah dibantah secara ilmiah dan pencetusnya sendiri (Freud) yang terus menggembar – gemborkan kebebasan seksual, ternyata mati karena menderita penyakit kejiwaan (psikopath).

 

5. Bahasa

Ghazwul fikri (GF) dibidang bahasa adalah dengantidak diajarkannya bahasa Al – Qur’an di sekolah – sekolah karena menganggapnya tidak perlu. Hal yang nampaknya remeh ini sebenarnya sanagt besar akibatnya dan menjadi bencana bagi kaum muslimin Indonesia secara umum. Dengan tidak memahami Al – Qur’an, mayoritas kaum muslimin menjadi tidak mengerti apa kandungan Al – Qur’an, seperti firman Allah dalam surah Al Baqarah:78 artinya “ Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al – Kitab (taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga – duga “. Akibatnya, Al – Qur’an menjadi sekedar bacaan tanpa arti (Al – Qur’an hanya dinikmati iramanya seperti layaknya lagu – lagu dan nyayian belaka, yang akhirnya ditinggalkan seperti yang disebutkan dalam surah Al Furqaan:30 yang artinya “ Berkata Rasul : Ya tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al – Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan “ dan surah Al Furqaan:31 yang artinya “ Dan seperti itulah, setelah kami adakan bagi tiap – tiap nabi, musuh dari orang – orang yang berdosa dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong. “)

Dampak lain dari kebodohan terhadap bahasa Al – Qur’an adalah terputusnya hubungan kaum muslimin dengan perbendaharaan ilmu – ilmu keislaman yang telah disusun dan dibukukan selama hamper 1000 tahun oleh para pakar dan ilmuwan islam terdahulu yang jumlahnya mencapai jutaan judul buku, mencakup bidang – bidang akidah, tafsir, hadist, fiqih, sirah, tarikh, ulumul qur’an, tazkiyyah dan sebagainya.

 

6. Hukum

Ghazwul fikri (GF) pada aspek hukum adalah penggunaan acuan hukum warisan kolonial yang masih dipertahankan sebagai hukum yang berlaku, reduksi, dan penghapusan hukum Allah SWT dan Rasul – Nya. Rasa takut dan alergi terhadap segala yang berbau syariat islam merupakan keberhasilan ghazwul fikri (GF) dibidang ini. Penggambaran potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi penzina selalu ditonjolkan saat pembicaraan – pembicaraan tentang kemungkinan adopsi terhadap beberapa hukum islam. Mereka melupakan bahwa hukum islam berpihak (melindungi) korban kejahatan, sehingga hukuman keras dijatuhkan kepada pelaku kejahatan agar perbuatannya tidak terulang dan orang lain takut untuk berbuat yang sama.

Sebaliknya, hukum barat berpihak (melindungi) pelaku kejahatan, sehingga dengan hukuman tersebut memungkinkannya untuk mengulang lagi kejahatannya karena ringannya hukuman tersebut. Laporan menunjukkan bahwa tingkat perkosaan yang terjadi di Kanada selama sehari sama dengan kejahatan yang sama di Kuwait selama 12 tahun, bahkan pooling yang dilakukan di masyarakat Amerika Serikat menunjukkan bahwa 1 dari 3 masyarakat Amerika Serikat menyetujui dijatuhkannya hukuman mati untuk pemerkosa.

 

7. Pengiriman pelajar dan mahasiswa ke Luar Negeri

Ghazwul fikri (GF) dibidang ini terjadi dalam dua aspek, yaitu : Brain drain dan Brain Washing. Brain drain adalah pelarian para intelektual dari negara – negara islam ke negara – negara maju karena insentif yang lebih besar dan fasilitas hidup yang lebih mewah bagi para pekerja disana. Hal ini menyebabkan lambatnya pembangunan di negara – negara islam dan semakin cepatnya kemajuan di negara – negara barat.

Data penelitian tahun 1996 menyebutkan bahwa perbandingan SDM bergelar doctor (S3) di Indonesia baru 60 per sejuta penduduk, di Amerika Serikat dan Eropa antara 2500 – 3000 orang per sejuta, dan di Israel mencapai 16.000 per sejuta penduduk.

Sementara brain washing (cuci otak) dialami oleh para intelektual yang sebagian besar berangkat ke negara – negara barat tanpa dibekali dengan dasar – dasar keislaman yang cukup. Akibatnya, mereka pulang dengan membawa pola piker dan perilaku yang bertentangan dengan nilai – nilai islam. Bahkan secara sadar atau tidak, mereka ikut andil dalam membantu melanggengkan kepentingan barat dinegara mereka.

 

8. Media massa

Berbicara mengenai ghazwul fikri (GF) yang terjadi dalam media massa, maka dapat dipilah pada aspek – aspek sebagai berikut :

· Aspek kehadirannya

Terjadinya perubahan penjadwalan kegiatan sehari – hari dalam keluarga muslim, missal TV. Dulu selepas maghrib, anak – anak biasanya mengaji dan belajar agama. Sekarang, selepas maghrib anak – anak menonton acara – acara TV yang kebanyakan merusak dan tidak bermanfaat. Sementara bagi para remaja dan orang tua dibandingkan dating ke pengajian dan majlis – majlis taklim, mereka lebih senang menghabiskan waktunya dengan menonton TV.

Sebenarnya TV dapat menjadi srana dakwah yang luar biasa (sesuai dengan teori komunikasi yang menyatkan bahwa media audio – visual memiliki pengaruh yang tertinggi dalam membentuk kepribadian baik pada tingkat individu maupun masyarakat) asal dikemas dan dirancang sesuai dengan nilai – nilai islam.

 

 

· Aspek isinya

Berbicara mengenai isi yang ditampilkan oleh media massa yang merupakan produk ghazwul fikri (GF) diantaranya adalah mengenai penokohan – penokohan atau orang – orang yang diidolakan. Media massa yang ada tidak berusaha ikut mendidik bangsa dan masyarakat dengan menokohkan para ulama, ilmuwan, dan orang – orang yang dapat mendorong membangun bangsa agar mencapai kemajuan IMTAK dan IPTEK sebagaimana yang digembar – gemborkan. Tetapi sebaliknya, justru tokoh yang terus menerus diekspos dan ditampilkan adalah para selebriti yang menjalankan gaya hidup borjuis, menghambur – hamburkan uang (tabdzir), jauh dari memiliki IPTEK apalagi nilai – nilai agama.

Hal ini jelas besar dampaknya pada generasi muda dalam memilih dan menentukan gaya hidup, cita – citanya dan tentunya pada kualitas bangsa dan Negara. Rpoduk lain dari ghazwul fikri (GF) yang menonjol dalam media TV, misalnya porsi film – film islami yang dapat dikatakan tidak ada. Film yang diputar 90% adalah film bergaya barat, sisanya adalah film nasional (yang juga bergaya barat), film – film mandarin, dan film – film india.

 

F. Sasaran dilakukannya Invansi Pemikiran (Ghazwul Fikri (GF))

 

Sasaran dari ghazwul fikri (GF) adalah sebagai berikut :

1. Agar kaum muslimin menjadi condong sedikit terhadap gaya, perilaku dan pola pikir barat, seperti dalam Q.S. Al Israa:73 yang artinya “ Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap kami, dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.Q.S. Al Israa:74 yang artinya “ Dan kalau kami tidak memperkuatkan (hati)mu, niscaya kamu hampir condong sedikit kepada mereka.” Q.S. Al Israa:75 yang artinya “ Kalau terjadi demikian, benar – benarlah kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat – lipat ganda didunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap kami.” Dan Q.S.Al Israa:76 yang artinya “ Dan sesungguhnya benar – benar mereka hamper membuatmu gelisah di negeri (mekah) untuk mengusirmu daripadanya dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tidak tinggal sebentar saja.”

2. Setelah kaum muslimin condong sedikit, tahapan selanjutnya adalah agar kaum muslimin mengikuti sebagian dari gaya, perilaku dan pola pikir mereka. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S.Ad Dukhan:25 yang artinya “ Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka tinggalkan.” Dan Q.S.Ad Dukhan:26 yang artinya “ Dan kebun – kebun serta tempat – tempat yang indah – indah.”

3. Pada tahap ini diharapkan kaum muslimin beriman pada sebagiannya ayat – ayat Al – Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW, tetapi kafir terhadap sebagian yang lainnya. Sebagaimana dalam Q.S.Al Baqarah:85 yang artinya “ Kemudian kamu (bani israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan dari pada kamu dari kampong halaman. Kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan tetapi jika mereka dating kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka. Padahal mengusir itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman pada sebagian Al Kitab(taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat, Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”

4. Pada tahap akhir, mereka menginginkan agar generasi kaum muslimin mengikuti syahwat dan meninggalkan shalat. Sebagaimana dalam Q.S.Maryam:59 yang artinya “ Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia – nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, maka mereka akan menemui kesesatan.”

 

 

G. Tujuan Ghazwul Fikri (GF)

 

1. Menghambat kemajuan umat islam agar tetap menjadi pengekor barat. Berbagai macam pendapat nyeleneh yang ditebarkan para orientalis lewat media cetak dan elektronik berhasil menyita perhatian umat islam dan mengetuk sebagian besar potensinya,baik untuk melakukan kajian, bantahan dan pelurusan.

2. Menjauhkan umat islam dari Al – Qur’an dan As Sunnah serta ajaran – ajarannya. Dengan keraguan – raguan dan penyesatan terhadap umat islam, ghazwul fikri (GF) menyeret orang – orang awam ke jurang yang memisahkan mereka dari keislaman – Nya. Bahkan ada sebagian yang keluar dari islam dan berpindah ke agama lain.

3. Memurtadkan umat islam. Inilah yang digambarkan Al – Qur’an dalam Surah Al Baqarah:217 yang artinya “ Mereka tidak henti – hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah sia – sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.”

 

H. Dampak Positif dan Negatif Gahzwul Fikri (GF)

 

Ø Dampak Positif dari Ghazwul Fikri (GF)

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempermudah memberikan pekerjaan pada manusia yang ada di Negara ini.

Ø Dampak Negatif dari Ghazwul Fikri (GF)

- Perusakan akhlak umat islam terutama yang masih berusia muda.

- Berusaha menggiring umat islam kepada kekafiran, khususnya umat islam yang tipis pemahaman keislamannya.

- Menjauhkan umat islam dari agamanya dan mendekatkannya pada kekafiran.



* tentang ini saya meempunyai pertanyaan : bolehkah Islam Menggunakan Cara Ini Untuk Mengebngkan Islam?
kepada pembaca yang budiman, mohon jawabannya melalui komentar.
terimakasih untuk admin

 

GHAZWUL FIKRI (PERANG PEMIKIRAN)

WASHINGTON — A decade after emergency trailers meant to shelter Hurricane Katrina victims instead caused burning eyes, sore throats and other more serious ailments, the Environmental Protection Agency is on the verge of regulating the culprit: formaldehyde, a chemical that can be found in commonplace things like clothes and furniture.

But an unusual assortment of players, including furniture makers, the Chinese government, Republicans from states with a large base of furniture manufacturing and even some Democrats who championed early regulatory efforts, have questioned the E.P.A. proposal. The sustained opposition has held sway, as the agency is now preparing to ease key testing requirements before it releases the landmark federal health standard.

The E.P.A.’s five-year effort to adopt this rule offers another example of how industry opposition can delay and hamper attempts by the federal government to issue regulations, even to control substances known to be harmful to human health.

Continue reading the main story
 

Document: The Formaldehyde Fight

Formaldehyde is a known carcinogen that can also cause respiratory ailments like asthma, but the potential of long-term exposure to cause cancers like myeloid leukemia is less well understood.

The E.P.A.’s decision would be the first time that the federal government has regulated formaldehyde inside most American homes.

“The stakes are high for public health,” said Tom Neltner, senior adviser for regulatory affairs at the National Center for Healthy Housing, who has closely monitored the debate over the rules. “What we can’t have here is an outcome that fails to confront the health threat we all know exists.”

The proposal would not ban formaldehyde — commonly used as an ingredient in wood glue in furniture and flooring — but it would impose rules that prevent dangerous levels of the chemical’s vapors from those products, and would set testing standards to ensure that products sold in the United States comply with those limits. The debate has sharpened in the face of growing concern about the safety of formaldehyde-treated flooring imported from Asia, especially China.

What is certain is that a lot of money is at stake: American companies sell billions of dollars’ worth of wood products each year that contain formaldehyde, and some argue that the proposed regulation would impose unfair costs and restrictions.

Determined to block the agency’s rule as proposed, these industry players have turned to the White House, members of Congress and top E.P.A. officials, pressing them to roll back the testing requirements in particular, calling them redundant and too expensive.

“There are potentially over a million manufacturing jobs that will be impacted if the proposed rule is finalized without changes,” wrote Bill Perdue, the chief lobbyist at the American Home Furnishings Alliance, a leading critic of the testing requirements in the proposed regulation, in one letter to the E.P.A.

Industry opposition helped create an odd alignment of forces working to thwart the rule. The White House moved to strike out key aspects of the proposal. Subsequent appeals for more changes were voiced by players as varied as Senator Barbara Boxer, Democrat of California, and Senator Roger Wicker, Republican of Mississippi, as well as furniture industry lobbyists.

Hurricane Katrina in 2005 helped ignite the public debate over formaldehyde, after the deadly storm destroyed or damaged hundreds of thousands of homes along the Gulf of Mexico, forcing families into temporary trailers provided by the Federal Emergency Management Agency.

The displaced storm victims quickly began reporting respiratory problems, burning eyes and other issues, and tests then confirmed high levels of formaldehyde fumes leaking into the air inside the trailers, which in many cases had been hastily constructed.

Public health advocates petitioned the E.P.A. to issue limits on formaldehyde in building materials and furniture used in homes, given that limits already existed for exposure in workplaces. But three years after the storm, only California had issued such limits.

Industry groups like the American Chemistry Council have repeatedly challenged the science linking formaldehyde to cancer, a position championed by David Vitter, the Republican senator from Louisiana, who is a major recipient of chemical industry campaign contributions, and whom environmental groups have mockingly nicknamed “Senator Formaldehyde.”

Continue reading the main story

Formaldehyde in Laminate Flooring

In laminate flooring, formaldehyde is used as a bonding agent in the fiberboard (or other composite wood) core layer and may also be used in glues that bind layers together. Concerns were raised in March when certain laminate flooring imported from China was reported to contain levels of formaldehyde far exceeding the limit permitted by California.

Typical

laminate

flooring

CLEAR FINISH LAYER

Often made of melamine resin

PATTERN LAYER

Paper printed to resemble wood,

or a thin wood veneer

GLUE

Layers may be bound using

formaldehyde-based glues

CORE LAYER

Fiberboard or other

composite, formed using

formaldehyde-based adhesives

BASE LAYER

Moisture-resistant vapor barrier

What is formaldehyde?

Formaldehyde is a common chemical used in many industrial and household products as an adhesive, bonding agent or preservative. It is classified as a volatile organic compound. The term volatile means that, at room temperature, formaldehyde will vaporize, or become a gas. Products made with formaldehyde tend to release this gas into the air. If breathed in large quantities, it may cause health problems.

WHERE IT IS COMMONLY FOUND

POTENTIAL HEALTH RISKS

Pressed-wood and composite wood products

Wallpaper and paints

Spray foam insulation used in construction

Commercial wood floor finishes

Crease-resistant fabrics

In cigarette smoke, or in the fumes from combustion of other materials, including wood, oil and gasoline.

Exposure to formaldehyde in sufficient amounts may cause eye, throat or skin irritation, allergic reactions, and respiratory problems like coughing, wheezing or asthma.

Long-term exposure to high levels has been associated with cancer in humans and laboratory animals.

Exposure to formaldehyde may affect some people more severely than others.

By 2010, public health advocates and some industry groups secured bipartisan support in Congress for legislation that ordered the E.P.A. to issue federal rules that largely mirrored California’s restrictions. At the time, concerns were rising over the growing number of lower-priced furniture imports from Asia that might include contaminated products, while also hurting sales of American-made products.

Maneuvering began almost immediately after the E.P.A. prepared draft rules to formally enact the new standards.

White House records show at least five meetings in mid-2012 with industry executives — kitchen cabinet makers, chemical manufacturers, furniture trade associations and their lobbyists, like Brock R. Landry, of the Venable law firm. These parties, along with Senator Vitter’s office, appealed to top administration officials, asking them to intervene to roll back the E.P.A. proposal.

The White House Office of Management and Budget, which reviews major federal regulations before they are adopted, apparently agreed. After the White House review, the E.P.A. “redlined” many of the estimates of the monetary benefits that would be gained by reductions in related health ailments, like asthma and fertility issues, documents reviewed by The New York Times show.

As a result, the estimated benefit of the proposed rule dropped to $48 million a year, from as much as $278 million a year. The much-reduced amount deeply weakened the agency’s justification for the sometimes costly new testing that would be required under the new rules, a federal official involved in the effort said.

“It’s a redlining blood bath,” said Lisa Heinzerling, a Georgetown University Law School professor and a former E.P.A. official, using the Washington phrase to describe when language is stricken from a proposed rule. “Almost the entire discussion of these potential benefits was excised.”

Senator Vitter’s staff was pleased.

“That’s a huge difference,” said Luke Bolar, a spokesman for Mr. Vitter, of the reduced estimated financial benefits, saying the change was “clearly highlighting more mismanagement” at the E.P.A.

Advertisement

The review’s outcome galvanized opponents in the furniture industry. They then targeted a provision that mandated new testing of laminated wood, a cheaper alternative to hardwood. (The California standard on which the law was based did not require such testing.)

But E.P.A. scientists had concluded that these laminate products — millions of which are sold annually in the United States — posed a particular risk. They said that when thin layers of wood, also known as laminate or veneer, are added to furniture or flooring in the final stages of manufacturing, the resulting product can generate dangerous levels of fumes from often-used formaldehyde-based glues.

Industry executives, outraged by what they considered an unnecessary and financially burdensome level of testing, turned every lever within reach to get the requirement removed. It would be particularly onerous, they argued, for small manufacturers that would have to repeatedly interrupt their work to do expensive new testing. The E.P.A. estimated that the expanded requirements for laminate products would cost the furniture industry tens of millions of dollars annually, while the industry said that the proposed rule over all would cost its 7,000 American manufacturing facilities over $200 million each year.

“A lot of people don’t seem to appreciate what a lot of these requirements do to a small operation,” said Dick Titus, executive vice president of the Kitchen Cabinet Manufacturers Association, whose members are predominantly small businesses. “A 10-person shop, for example, just really isn’t equipped to handle that type of thing.”

Photo
 
Becky Gillette wants strong regulation of formaldehyde. Credit Beth Hall for The New York Times

Big industry players also weighed in. Executives from companies including La-Z-Boy, Hooker Furniture and Ashley Furniture all flew to Washington for a series of meetings with the offices of lawmakers including House Speaker John Boehner, Republican of Ohio, and about a dozen other lawmakers, asking several of them to sign a letter prepared by the industry to press the E.P.A. to back down, according to an industry report describing the lobbying visit.

Within a matter of weeks, two letters — using nearly identical language — were sent by House and Senate lawmakers to the E.P.A. — with the industry group forwarding copies of the letters to the agency as well, and then posting them on its website.

The industry lobbyists also held their own meeting at E.P.A. headquarters, and they urged Jim Jones, who oversaw the rule-making process as the assistant administrator for the agency’s Office of Chemical Safety and Pollution Prevention, to visit a North Carolina furniture manufacturing plant. According to the trade group, Mr. Jones told them that the visit had “helped the agency shift its thinking” about the rules and how laminated products should be treated.

The resistance was particularly intense from lawmakers like Mr. Wicker of Mississippi, whose state is home to major manufacturing plants owned by Ashley Furniture Industries, the world’s largest furniture maker, and who is one of the biggest recipients in Congress of donations from the industry’s trade association. Asked if the political support played a role, a spokesman for Mr. Wicker replied: “Thousands of Mississippians depend on the furniture manufacturing industry for their livelihoods. Senator Wicker is committed to defending all Mississippians from government overreach.”

Individual companies like Ikea also intervened, as did the Chinese government, which claimed that the new rule would create a “great barrier” to the import of Chinese products because of higher costs.

Perhaps the most surprising objection came from Senator Boxer, of California, a longtime environmental advocate, whose office questioned why the E.P.A.’s rule went further than her home state’s in seeking testing on laminated products. “We did not advocate an outcome, other than safety,” her office said in a statement about why the senator raised concerns. “We said ‘Take a look to see if you have it right.’ ”

Safety advocates say that tighter restrictions — like the ones Ms. Boxer and Mr. Wicker, along with Representative Doris Matsui, a California Democrat, have questioned — are necessary, particularly for products coming from China, where items as varied as toys and Christmas lights have been found to violate American safety standards.

While Mr. Neltner, the environmental advocate who has been most involved in the review process, has been open to compromise, he has pressed the E.P.A. not to back down entirely, and to maintain a requirement that laminators verify that their products are safe.

An episode of CBS’s “60 Minutes” in March brought attention to the issue when it accused Lumber Liquidators, the discount flooring retailer, of selling laminate products with dangerous levels of formaldehyde. The company has disputed the show’s findings and test methods, maintaining that its products are safe.

“People think that just because Congress passed the legislation five years ago, the problem has been fixed,” said Becky Gillette, who then lived in coastal Mississippi, in the area hit by Hurricane Katrina, and was among the first to notice a pattern of complaints from people living in the trailers. “Real people’s faces and names come up in front of me when I think of the thousands of people who could get sick if this rule is not done right.”

An aide to Ms. Matsui rejected any suggestion that she was bending to industry pressure.

“From the beginning the public health has been our No. 1 concern,” said Kyle J. Victor, an aide to Ms. Matsui.

But further changes to the rule are likely, agency officials concede, as they say they are searching for a way to reduce the cost of complying with any final rule while maintaining public health goals. The question is just how radically the agency will revamp the testing requirement for laminated products — if it keeps it at all.

“It’s not a secret to anybody that is the most challenging issue,” said Mr. Jones, the E.P.A. official overseeing the process, adding that the health consequences from formaldehyde are real. “We have to reduce those exposures so that people can live healthy lives and not have to worry about being in their homes.”

The Uphill Battle to Better Regulate Formaldehyde

Artikel lainnya »