Setiap jamaah yang berangkat umroh atau haji khusus Call/Wa. 08111-34-1212 pasti menginginkan perjalanan ibadah haji plus atau umrohnya bisa terlaksana dengan lancar, nyaman dan aman sehingga menjadi mabrur. Demi mewujudkan kami sangat memahami keinginan para jamaah sehingga merancang program haji onh plus dan umroh dengan tepat. Jika anda ingin melaksanakan Umrah dan Haji dengan tidak dihantui rasa was-was dan serta ketidakpastian, maka Alhijaz Indowisata Travel adalah solusi sebagai biro perjalanan anda yang terbaik dan terpercaya.?agenda umroh 12 hari
Biro Perjalanan Haji dan Umrah yang memfokuskan diri sebagai biro perjalanan yang bisa menjadi sahabat perjalanan ibadah Anda, yang sudah sangat berpengalaman dan dipercaya sejak tahun 2010, mengantarkan tamu Allah minimal 5 kali dalam sebulan ke tanah suci tanpa ada permasalahan. Paket yang tersedia sangat beragam mulai paket umroh 9 hari, 12 hari, umroh wisata muslim turki, dubai, aqso. Biaya umroh murah yang sudah menggunakan rupiah sehingga jamaah tidak perlu repot dengan nilai tukar kurs asing. jadwal umroh desember Cirebon
Inggris Tak Mendukung Papua Merdeka
JAKARTA, Saco-Indonesia.com -
Pemerintah Inggris menghormati integritas wilayah Indonesia dan tidak mendukung desakan
untuk memerdekaan Papua. Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Mark Canning, menegaskan hal itu
seusai dipanggil Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, di Jakarta, Senin (6/5).
"Hari ini saya dipanggil untuk bertemu dengan Menteri Luar Negeri Indonesia, Bapak
Marty Natalegawa. Bapak Menteri menyampaikan secara jelas tentang keprihatinan yang mendalam
dari Pemerintah Indonesia menyusul pembukaan kantor Free West Papua di Oxford," kata
Canning dalam pernyataan di Facebook kantor Kedutaan Inggris untuk Indonesia.
Menyusul pembukaan kantor Free West Papua di Oxford yang disetujui dewan kota, pemerintah
Indonesia telah menyatakan protes dan kecaman. Namun Canning menegaskan, pandangan Dewan Kota
Oxford, terutama visi Benny Wenda, warga Papua yang bermukim di Inggris, tidak mewakili
pandangan Inggris sebagai negara.
"Saya menjelaskan kepada Bapak
Menteri bahwa kami sangat memahami kesensitifan isu ini bagi Indonesia. Posisi pemerintah
Inggris dalam isu ini sudah cukup jelas. Kami menghormati integritas wilayah Indonesia dan kami
tidak mendukung seruan-seruan untuk memerdekakan Papua. Kami menghargai Papua sebagai bagian
dari Indonesia dan hal ini sudah menjadi pandangan kami. Perkembangan terakhir (tentang
dibukanya kantor Free West Papua di Oxford), yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan
pemerintah Inggris, tidak mengubah pandangan kami (terhadap Papua sebagai bagian dari
Indonesia)." kata Canning dalam pernyataan itu.
Pemerintah Inggris, kata
dia, justru mendukung usaha-usaha yang dilakukan pemerintah Indonesia, seperti upaya yang
dilakukan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang
berusaha mengatasi masalah-masalah di Papua.
Dalam pernyataan pada Sabtu
lalu, Canning, mengatakan bahwa Dewan Kota Oxford seperti halnya dewan-dewan lainnya di Inggris
bebas mendukung tujuan apa pun yang mereka inginkan. Namun, dewan-dewan kota itu bukan bagian
dari pemerintah. "Segala bentuk tindakan mereka tidak ada hubungannya dengan Pemerintah
Inggris," katanya.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Sabtu malam,
mengatakan bahwa Indonesia akan menyampaikan protes keras kepada Inggris, sekaligus meminta
penjelasan resmi terkait insiden pembukaan kantor Free West Papua di Oxford itu. "Kami
memprotes keras dan sangat berkeberatan dengan itu. Duta Besar kita di Inggris juga sudah
sampaikan itu. Apa yang terjadi sangat bertolak belakang dengan pernyataan komitmen mereka
selama ini, dan tentunya juga bertentangan dengan posisi masyarakat internasional atas
integritas dan kedaulatan wilayah RI," kata Marty.
KATHMANDU, Nepal — When the dense pillar of smoke from cremations by the Bagmati River was thinning late last week, the bodies were all coming from Gongabu, a common stopover for Nepali migrant workers headed overseas, and they were all of young men.
Hindu custom dictates that funeral pyres should be lighted by the oldest son of the deceased, but these men were too young to have sons, so they were burned by their brothers or fathers. Sukla Lal, a maize farmer, made a 14-hour journey by bus to retrieve the body of his 19-year-old son, who had been on his way to the Persian Gulf to work as a laborer.
“He wanted to live in the countryside, but he was compelled to leave by poverty,” Mr. Lal said, gazing ahead steadily as his son’s remains smoldered. “He told me, ‘You can live on your land, and I will come up with money, and we will have a happy family.’ ”
Weeks will pass before the authorities can give a complete accounting of who died in the April 25 earthquake, but it is already clear that Nepal cannot afford the losses. The countryside was largely stripped of its healthy young men even before the quake, as they migrated in great waves — 1,500 a day by some estimates — to work as laborers in India, Malaysia or one of the gulf nations, leaving many small communities populated only by elderly parents, women and children. Economists say that at some times of the year, one-quarter of Nepal’s population is working outside the country.