Rasanya, semua telinga akrab dengan dalil
ini. Sebab dia sering diucapkan dalam pembuka nasehat, sebagai kalimat pujian. Bahkan para
pemula yang ingin belajar nasehat, tentu menghafal mati dalil ini. Memang keren dalilnya. Paten
redaksionalnya. Dan juga sering diulas para penyampai, jika menerangkan bab pengamalan. Karena
memang begitulah adanya. Bagi pemerhati keriuh-rendahan beramal, tentu tidak akan melewatkan
dalil – dalil ini.
Di dalam KitabNya Allah berfirman; Dan diserukan
kepada mereka: “Itulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu
kerjakan.” (QS. Al-A’raf [7] : 43). Ayat semisal terdapat juga dalam QS. Az-Zukhruf
[43] : 72)
“Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu
amalkan”. (QS. An-Nahl [16] : 32)
“Dan masing-masing orang memperoleh
derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang
mereka kerjakan.” (Al-‘An’am 132)
Dalil – dalil di atas, jelas
menunjukkan pentingnya beramal dalam ibadah. Sebab dengannya orang bisa memperoleh tinggi
– rendahnya derajat di surga. Oleh karena itu, tak salah orang memperbanyak amal untuk
kehidupan di sana kelak. Yang perlu diingat adalah serentetan dalil – dalil di bawah ini.
Bukan menakut-nakuti. Demikian banyaknya setidaknya membuat kita berjaga – jaga. Kadang
malah bisa membuat kontra produktif, jika tidak arif dan bijaksana dalam memahaminya. Sebab
kelihatan saling bertentangan antara satu dan lainnya. Jangankan orang macam saya, dulu para
sahabat pun dibuat bingung karenanya.
Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, ia mendengar
Rasulullah SAW bersabda, “Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam
surga.” “Engkau juga tidak wahai Rasulullah?”, tanya beberapa sahabat. Beliau
menjawab, “Aku pun tidak. Kecuali jika Allah menyelimuti pada (amalan)ku dengan kefadholan
dan rahmat.” (Rowahu Bukhary – Jilid 1)
Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq
bab al-qashd wal-mudawamah ‘alal-’amal no. 6463, 6464, 6467, juga menyebutkan walau
dengan redaksi yang agak berbeda.
“Amal tidak akan bisa menyelamatkan seseorang
di antara kalian.” Mereka bertanya: “Tidak pula Engkau wahai Rasulullah SAW?”
Beliau menjawab: “Ya, saya pun tidak, kecuali Allah menganugerahkan rahmat kepadaku.
Tepatlah kalian, mendekatlah, beribadahlah di waktu pagi, sore, dan sedikit dari malam,
beramallah yang pertengahan, yang pertengahan, kalian pasti akan sampai.”
“Tepatlah kalian, mendekatlah, dan ketahuilah bahwasanya amal tidak akan memasukkan
seseorang ke dalam surga. Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah itu adalah yang paling
sering diamalkan walaupun sedikit.”
“Tepatlah kalian, mendekatlah, dan
bergembiralah, karena sesungguhnya amal tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.”
Para shahabat bertanya: “Termasuk juga anda wahai Rasulullah?” Beliau menjawab:
“Ya, termasuk juga saya, kecuali jika Allah menganugerahkan ampunan dan rahmat
kepadaku.”
Saddidu, asal katanya sadad; ketepatan, sesuatu yang tepat. Maknanya
menurut Ibn Hajar, shawab; benar. Artinya, beramallah dengan tepat, benar, mengikuti sunnah dan
penuh keikhlasan.
Qaribu yang bermakna ‘mendekatlah’ maknanya ada dua;
pertama, jangan menjauhi amal seluruhnya ketika tidak mampu, dan kedua, jangan berlebihan dalam
beramal sehingga merasa kelelahan dan bosan. Itu berarti ambillah pertengahan dalam beramal.
Ketika malas tiba, bertahan dengan tidak meninggalkan amal seluruhnya, beramallah sedekat-
dekatnya, tidak mampu 100% (sadad) beramallah 90% (qarib), dan ketika semangat tiba, beramal
dengan tidak berlebihan karena akan menyebabkan kelelahan dan kejenuhan.
Ughdu artinya
berpergianlah di waktu pagi, ruhu artinya berpergianlah di waktu sore, dan ad-duljah artinya
berpergian di waktu malam. Kata ad-duljah disertai dengan kata syai` (syai` minad-duljah;
sedikit/sesaat di waktu malam) karena memang berpergian di waktu malam cukup sulit. Menurut Ibn
Hajar, ini seolah-olah isyarat agar shaum di sepanjang hari dari sejak pagi sampai sore, dan
shalat tahajjud di sebagian malam. Walaupun, menurutnya, bisa juga diperluas untuk ibadah-ibadah
lainnya. Ibadah dalam hal ini diibaratkan dengan berpergian/perjalanan karena memang seorang
‘abid (yang beribadah) itu ibarat seseorang yang sedang berpergian dan menempuh perjalanan
menuju surga.
Al-qashda maknanya pertengahan. Dijelaskan dalam riwayat lain sebagai
amal yang rutin dikerjakan (dawam) walaupun sedikit-sedikit.
Taghammada diambil dari
kata ghimd yang berarti sarung pedang. Taghammada berarti menyarungkan, atau dengan kata lain
menutup (satr). Jika dilekatkan dengan kata rahmat dan ampunan, berarti menganugerahkan
sepenuhnya (semua penjelasan dalam syarah mufradat ini disadur dari Fath al-Bari kitab ar-riqaq
bab al-qashd wal-mudawamah ‘alal-’amal).
Sementara itu, Shahih Muslim
kitab shifat al-qiyamah wal-jannah wan-nar bab lan yadkhula ahadun al-jannah bi ‘amalihi
no. 7289-7302, tidak hanya disebut tidak akan masuk surga saja, melainkan ditegaskan juga tidak
akan selamat dari neraka.
“Amal tidak akan memasukkan seseorang di antara kalian
ke surga dan tidak pula menyelamatkannya dari neraka. Demikian juga saya, kecuali dengan rahmat
Allah SWT”.
Dulu, pertama kali mendengar hadits ini, saya kaget. Kok begitu ya?
Alhamdulillah Allah paring kefahaman. Salah satunya lewat cerita sederhana kisah ahli ibadah
dari Bani Israil. Diceritakan ada seorang hamba yang tekun dan rajin beribadah selama 500
tahun. Dia hidup menyendiri di sebuah gunung, tak pernah berbuat dosa sedikitpun. Hari –
harinya diisi ibadah dan ibadah, tak lain. Dan kala meninggalnya pun dalam keadaan sedang
bersujud. Akhirnya di hari Qiyamat Allah membangkitkan dia dan memasukkannya ke surga. Allah
berfirman; “Dengan rahmatku, masuklah kamu ke surge.” Mendengar perkataan tersebut
si hamba protes. “Ya Allah, bukankah karena amalanku?”
Allah menjawab;
“Karena rohmatku.”
Hamba; “Tidak. Ini semua karena amalanku selama 500
tahun.”
Allah menjawab; “Baiklah. Sekarang akan saya buktikan.”
Kemudian Allah memperlihatkan timbangan amal si hamba. Semua amalan si hamba ditempatkan di
sisi timbangan dan nikmat – nikmat Allah di sisi satunya lagi. Hasilnya, amalan hamba
selama 500 tahun itu tak menggeser sedikit pun nikmat dan anugerah Allah yang diberikan
kepadanya. Akhirnya, si hamba sadar dan memahami bahwa sebab masuknya dia ke surga adalah karena
rohmat Allah.
Cerita ini semakin meneguhkan nasehat klasik bahwa sebenarnya kita
beribadah ini cuma modal dengkul. Semuanya atas peparing Allah. Jadi gak boleh sombong
–membanggakan amal - dan gak boleh bengong - tidak dilandasi niat karena Allah.
Selanjutnya saya memetik beberapa nash terkait akan situasi ini. Yaitu adanya lipatan amalan
yang diberikan Allah kepada setiap amal baik hambaNya. Sedangkan untuk amal jelek, Allah tidak
menulis kecuali seperti apa adanya. Walhasanatu biasyri amtsaliha – dan satu kebaikan itu
dengan sepuluh semisalnya. Atau seperti yang tersebut di dalam surat Albaqoroh laksana sebiji
padi yang menumbuhkan tujuh tangkai dan setiap tangkai berbuah 100 bulir padi alias 700 kali
lipatan. Atau dalam atsar – atsar puasa, dimana disebutkan bahwa pahala amal anak adam itu
dilipatkan ila masyaa Allah. Inilah pemahaman lebih lanjut arti redaksi Kecuali jika Allah
menyelimuti pada (amalan)ku dengan kefadholan dan rahmat. Ada lipatan sebagai bentuk kefadhalan
Allah dan nikmat dan anugerah Allah – sebagai rahmat, sehingga kita bisa beramal meraih
surga setinggi – tingginya. Maka, tak heran ketika kita masuk - keluar masjid pun dituntun
dengan doa untuk mengingatkan akan rahmat dan fadhilah Allah ini dalam setiap jengkal langkah
kita dalam beramal.
Nah, satu lagi yang “membanggakan” adalah hadits -
hadits tersebut di atas memang jarang dikumandangkan. Hanya sesaat – sesaat saja dan oleh
orang – orang tertentu saja. Namun, barangkali ketemu, semoga sedikit tulisan ini
bermanfaat bagi yang membacanya. Tak lebih.
Oleh: Faizunal
Abdillah
Sumber:Al'Quran & Al'Hadist/LDII
Editor:Liwon Maulana
(galipat)
BERAMAL