Setiap jamaah yang berangkat umroh atau haji khusus Call/Wa. 08111-34-1212 pasti menginginkan perjalanan ibadah haji plus atau umrohnya bisa terlaksana dengan lancar, nyaman dan aman sehingga menjadi mabrur. Demi mewujudkan kami sangat memahami keinginan para jamaah sehingga merancang program haji onh plus dan umroh dengan tepat. Jika anda ingin melaksanakan Umrah dan Haji dengan tidak dihantui rasa was-was dan serta ketidakpastian, maka Alhijaz Indowisata Travel adalah solusi sebagai biro perjalanan anda yang terbaik dan terpercaya.?agenda umroh 12 hari
Biro Perjalanan Haji dan Umrah yang memfokuskan diri sebagai biro perjalanan yang bisa menjadi sahabat perjalanan ibadah Anda, yang sudah sangat berpengalaman dan dipercaya sejak tahun 2010, mengantarkan tamu Allah minimal 5 kali dalam sebulan ke tanah suci tanpa ada permasalahan. Paket yang tersedia sangat beragam mulai paket umroh 9 hari, 12 hari, umroh wisata muslim turki, dubai, aqso. Biaya umroh murah yang sudah menggunakan rupiah sehingga jamaah tidak perlu repot dengan nilai tukar kurs asing. biro umroh di Limo
TEMPAT WISATA MONUMEN NASIONAL
Wisata Jakarta kali ini akan mengulas sebuah obyek wisata di Jakarta yang telah menjelma bagi masyarakat Jakarta sebagai Lambang Kota Jakarta, obyek wisata dan juga telah menjadi sebuah Land Mark dari Kota Jakarta, yaitu Monumen Nasional atau biasa disebut Tugu Monas.
Lokasi wisata ini telah terletak tepat di depan Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Jl. Medan Merdeka Selatan, Jakarta, dan telah dikelilingi juga oleh berbagai obyek wisata penting dari Jakarta, seperti Museum Gajah, Mesjid Istiqlal, dan Gereja Katolik Khatedral, telah membuat kunjungan wisata ke Monumen Nasional, atau sering disingkat dengan Monas menjadi sebuah pengalaman wisata yang sangat menarik. Apalagi Monas telah dikelilingi oleh lahan hijau yang sangat luas, dan buka setiap hari (kecuali hari Senin di Minggu terakhir tutup), telah memungkinkan kunjungan keluarga di hari Sabtu, Minggu, atau libur sambil berolah raga di kawasan sekitar Monas, sambil mengunjungi Museum Diorama Perjuangan Kemerdekaan bangsa Indonesia. Pulangnya jangan lupa mampir ke Mesjid Istiklal, Mesjid terbesar di Asia Tenggara, dan Gereja Katolik Kathedral, gereja yang juga sudah menjadi icon wisata Jakarta.
Dengan berwisata ke Monumen Nasional, kita juga berkesempatan untuk dapat melihat kota Jakarta dari ketinggian 115 m dari permukaan tanah, yaitu dari Puncak Monas, dengan hanya dibatasi oleh sedikit besi pelindung, dengan terpaan angin yang cukup kencang, pastilah telah menjadi suatu pengalaman yang sulit dilupakan. Anda juga bisa melihat kota Jakarta secara bebas sampai keseluruhan pelosoknya, dengan gedung pencakar langit dibawah kita, sebagian ditutupi awan kabut. Suatu pengalaman wisata yang tidak bisa didapat di tempat lain di Jakarta.
Diorama Sekitar Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Monumen Nasional atau Tugu Monas Jakarta adalah sebuah monumen yang telah didirikan untuk dapat mengenang dan melestarikan kebesaran perjuangan bangsa Indonesia yang dikenal dengan Revolusi Kemerdekaan Rakyat Indonesia 17 Agustus 1945, dan untuk dapat membangkitkan inspirasi dan semangat patriotisme bagi generasi sekarang, dan generasi masa mendatang. Pembangunan Tugu Monumen Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 214 Tahun 1959, tanggal 30 Agustus 1959 tentang Pembentukan Panitia Monumen Nasional. Pemancangan tiang pertama dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia Pertama, Ir. Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1961. Pembangunan Tugu Monumen Nasional dibiayai sebagian besar dari sumbangan masyarakat bangsa Indonesia secara gotong royong, dan mulai dibuka sebagai lokasi wisata untuk umum pada tanggal 18 Maret 1972 berdasarkan Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor Cb.11/1/57/72.
Arsitektur Monumen Nasional melambangkan lingga dan yoni yang akrab dengan Budaya Bangsa Indonesia di masa Kerajaan Hindu dan Buda. Selain itu juga telah menggambarkan Alu dan Lumpang yang juga merupakan alat rumah tangga untuk mengulek bumbu bahan makanan sehari-hari. Tinggi pelataran cawan sebagai personofikasi dari lumpang adalah 17 m. Luas cawan yang berbentuk bujur sangkar adalah 45 m x 45 m. Sedangkan bagian dalam cawan adalah ruang dengan tinggi ruangan 8 m. Di dalam ruangan yang disebut dengan Ruang Kemerdekaan, ruangannya berbentuk amphitheater mengelilingi 4 Atribut Kemerdekaan RI, yaitu Peta Kepulauan Republik Indonesia, Bendera Sang Saka Merah Putih, Lambang Negara Bhineka Tunggal Ika, dan Pintu Gapura yang berisi Naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Semua itu ditujukan untuk dapat mengingatkan kita kembali kepada tanggal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yaitu tanggal 17 Agustus 1945.
Struktur Monumen Nasional Jakarta
Di bawah ruang cawan, yaitu 3 m di bawah permukaan tanah terdapat Ruangan Museum Sejarah seluas 80 m x 80 m dengan dinding, tiang, dan lantainya secara keseluruhan berlapiskan marmer. Di ruang Museum sejarah ini ada 51 jendela peragaan / diorama yang telah mengabadikan peristiwa sejak jaman nenek moyang bangsa Indonesia, perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, sampai kepada masa mengisi kemerdekaan. Selain itu juga ada foto-foto dokumentasi dari proses pembangunan Monumen Nasional Jakarta. Dengan berwisata mengunjungi Monas, dijamin wawasan kita tentang apa arti Kemerdekaan bagi warga Jakarta dan bangsa Indonesia pasti akan bertambah.
Ruang Museum di Monumen Nasional Jakarta
Salah Satu dari 51 Diorama di Museum Sejarah Monas
Pelataran Puncak Tugu Monumen Nasional telah terletak pada ketinggian 115 meter dari halaman Monas, bisa dicapai dengan elevator berkapasitas 11 penumpang (ditambah satu orang pemandu lift dari pengelola, kapasitas sebenarnya 12 orang). Pelataran Puncak luasnya adalah 11 m x 11 m dan dapat menampung sampai 50 orang. Dari sini kita bisa melihat gedung-gedung pencakar langit dan wilayah Jakarta sampai ke ujung. Di sana juga disewakan teropong dengan tarif hanya Rp 2.000,- sekali teropong. Melihat pemandangan Jakarta dari sana sangat menarik, tapi buat yang punya rasa takut akan ketinggian, tidak bisa dipungkiri rasa takut itu akan muncul, seiring menyadari bahwa semua gedung pencakar langit dan awan ada di bawah kita. Apalagi saat angin yang agak kencang menerpa baju kita, seakan-akan akan menerbangkan kita. Yah, tapi itulah salah satu daya tarik dari wisata di Monas. Hitung-hitung sambil berwisata, kita juga memacu adrenalin kita.
Yang menarik adalah, di bagian puncak tugu, diletakkan sebuah bentuk lidah api yang tak pernah padam, melambangkan tekad bangsa Indonesia untuk berjuang yang tidak akan padam sepanjang masa. Lidah api itu dibentuk dari 14,5 ton perunggu yang dibungkus oleh 50 kg emas. Lidah api itu tingginya 14 meter dan berdiameter 6 meter, terdiri dari 77 bagian yang disatukan.Ketinggian puncak lidah api adalah 132 meter dari halaman Tugu Monumen Nasional.
Membayangkan bahwa lidah api dibuat dengan emas 50 kg, pastilah harga yang sangat mahal untuk ditaruh di sebuah tugu. Pada saat tulisan ini ditulis, harga emasnya saya hitung setara dengan Rp. 15 milyar. Suatu harga yang pantas untuk mengingatkan kita agar semangat kita melanjutkan cita-cita perjuangan pendahulu kita tidak padam. Monas memang bukan hanya milik warga Jakarta, tetapi milik bangsa Indonesia. Selamat berwisata di Monas dan menikmati keindahan kota Jakarta dari ketinggian 115 meter di atas tanah. Dan cobalah renungkan betapa tingginya harga yang harus dibayar untuk memperoleh kemerdekaan Bangsa Indonesia. Maka marilah kita ikut mengisinya dengan hal-hal yang berguna bagi kita dan generasi masa depan.
brandingstrategies.info
Wisata Monumen Nasional Jakarta :
Dibuka untuk kunjungan wisata setiap hari, kecuali setiap Senin terakhir tiap bulan
Harga tiket masuk wisata ke cawan Rp. 2,500,-/orang untuk dewasa, Rp. 1.000,-/orang untuk pelajar/mahasiswa
Harga tiket masuk wisata ke pelataran puncak Rp. 7.500,-/orang untuk dewasa dan Rp. 3.500,- untuk pelajar/mahasiswa
Harga sewa teropong Rp. 2.000,-/koin
G.O.P. Hopefuls Now Aiming to Woo the Middle Class
WASHINGTON — The last three men to win the Republican nomination have been the prosperous son of a president (George W. Bush), a senator who could not recall how many homes his family owned (John McCain of Arizona; it was seven) and a private equity executive worth an estimated $200 million (Mitt Romney).
The candidates hoping to be the party’s nominee in 2016 are trying to create a very different set of associations. On Sunday, Ben Carson, a retired neurosurgeon, joined the presidential field.
Senator Marco Rubio of Florida praises his parents, a bartender and a Kmart stock clerk, as he urges audiences not to forget “the workers in our hotel kitchens, the landscaping crews in our neighborhoods, the late-night janitorial staff that clean our offices.”
Gov. Scott Walker of Wisconsin, a preacher’s son, posts on Twitter about his ham-and-cheese sandwiches and boasts of his coupon-clipping frugality. His $1 Kohl’s sweater has become a campaign celebrity in its own right.
Senator Rand Paul of Kentucky laments the existence of “two Americas,” borrowing the Rev. Dr. Martin Luther King Jr.’s phrase to describe economically and racially troubled communities like Ferguson, Mo., and Detroit.
Photo
Senator Marco Rubio of Florida praises his parents, a bartender and a Kmart stock clerk.Credit Joe Raedle/Getty Images
“Some say, ‘But Democrats care more about the poor,’ ” Mr. Paul likes to say. “If that’s true, why is black unemployment still twice white unemployment? Why has household income declined by $3,500 over the past six years?”
We are in the midst of the Empathy Primary — the rhetorical battleground shaping the Republican presidential field of 2016.
Harmed by the perception that they favor the wealthy at the expense of middle-of-the-road Americans, the party’s contenders are each trying their hardest to get across what the elder George Bush once inelegantly told recession-battered voters in 1992: “Message: I care.”
Their ability to do so — less bluntly, more sincerely — could prove decisive in an election year when power, privilege and family connections will loom large for both parties.
Advertisement
Questions of understanding and compassion cost Republicans in the last election. Mr. Romney, who memorably dismissed the “47 percent” of Americans as freeloaders, lost to President Obama by 63 percentage points among voters who cast their ballots for the candidate who “cares about people like me,” according to exit polls.
And a Pew poll from February showed that people still believe Republicans are indifferent to working Americans: 54 percent said the Republican Party does not care about the middle class.
That taint of callousness explains why Senator Ted Cruz of Texas declared last week that Republicans “are and should be the party of the 47 percent” — and why another son of a president, Jeb Bush, has made economic opportunity the centerpiece of his message.
With his pedigree and considerable wealth — since he left the Florida governor’s office almost a decade ago he has earned millions of dollars sitting on corporate boards and advising banks — Mr. Bush probably has the most complicated task making the argument to voters that he understands their concerns.
On a visit last week to Puerto Rico, Mr. Bush sounded every bit the populist, railing against “elites” who have stifled economic growth and innovation. In the kind of economy he envisions leading, he said: “We wouldn’t have the middle being squeezed. People in poverty would have a chance to rise up. And the social strains that exist — because the haves and have-nots is the big debate in our country today — would subside.”
Republicans’ emphasis on poorer and working-class Americans now represents a shift from the party’s longstanding focus on business owners and “job creators” as the drivers of economic opportunity.
This is intentional, Republican operatives said.
In the last presidential election, Republicans rushed to defend business owners against what they saw as hostility by Democrats to successful, wealthy entrepreneurs.
“Part of what you had was a reaction to the Democrats’ dehumanization of business owners: ‘Oh, you think you started your plumbing company? No you didn’t,’ ” said Grover Norquist, the conservative activist and president of Americans for Tax Reform.
But now, Mr. Norquist said, Republicans should move past that. “Focus on the people in the room who know someone who couldn’t get a job, or a promotion, or a raise because taxes are too high or regulations eat up companies’ time,” he said. “The rich guy can take care of himself.”
Democrats argue that the public will ultimately see through such an approach because Republican positions like opposing a minimum-wage increase and giving private banks a larger role in student loans would hurt working Americans.
“If Republican candidates are just repeating the same tired policies, I’m not sure that smiling while saying it is going to be enough,” said Guy Cecil, a Democratic strategist who is joining a “super PAC” working on behalf of Hillary Rodham Clinton.
Republicans have already attacked Mrs. Clinton over the wealth and power she and her husband have accumulated, caricaturing her as an out-of-touch multimillionaire who earns hundreds of thousands of dollars per speech and has not driven a car since 1996.
Mr. Walker hit this theme recently on Fox News, pointing to Mrs. Clinton’s lucrative book deals and her multiple residences. “This is not someone who is connected with everyday Americans,” he said. His own net worth, according to The Milwaukee Journal Sentinel, is less than a half-million dollars; Mr. Walker also owes tens of thousands of dollars on his credit cards.
But showing off a cheap sweater or boasting of a bootstraps family background not only helps draw a contrast with Mrs. Clinton’s latter-day affluence, it is also an implicit argument against Mr. Bush.
Mr. Walker, who featured a 1998 Saturn with more than 100,000 miles on the odometer in a 2010 campaign ad during his first run for governor, likes to talk about flipping burgers at McDonald’s as a young person. His mother, he has said, grew up on a farm with no indoor plumbing until she was in high school.
Mr. Rubio, among the least wealthy members of the Senate, with an estimated net worth of around a half-million dollars, uses his working-class upbringing as evidence of the “exceptionalism” of America, “where even the son of a bartender and a maid can have the same dreams and the same future as those who come from power and privilege.”
Mr. Cruz alludes to his family’s dysfunction — his parents, he says, were heavy drinkers — and recounts his father’s tale of fleeing Cuba with $100 sewn into his underwear.
Gov. Chris Christie of New Jersey notes that his father paid his way through college working nights at an ice cream plant.
But sometimes the attempts at projecting authenticity can seem forced. Mr. Christie recently found himself on the defensive after telling a New Hampshire audience, “I don’t consider myself a wealthy man.” Tax returns showed that he and his wife, a longtime Wall Street executive, earned nearly $700,000 in 2013.
The story of success against the odds is a political classic, even if it is one the Republican Party has not been able to tell for a long time. Ronald Reagan liked to say that while he had not been born on the wrong side of the tracks, he could always hear the whistle. Richard Nixon was fond of reminding voters how he was born in a house his father had built.
“Probably the idea that is most attractive to an average voter, and an idea that both Republicans and Democrats try to craft into their messages, is this idea that you can rise from nothing,” said Charles C. W. Cooke, a writer for National Review.
There is a certain delight Republicans take in turning that message to their advantage now.
“That’s what Obama did with Hillary,” Mr. Cooke said. “He acknowledged it openly: ‘This is ridiculous. Look at me, this one-term senator with dark skin and all of America’s unsolved racial problems, running against the wife of the last Democratic president.”