Setiap jamaah yang berangkat umroh atau haji khusus Call/Wa. 08111-34-1212 pasti menginginkan perjalanan ibadah haji plus atau umrohnya bisa terlaksana dengan lancar, nyaman dan aman sehingga menjadi mabrur. Demi mewujudkan kami sangat memahami keinginan para jamaah sehingga merancang program haji onh plus dan umroh dengan tepat. Jika anda ingin melaksanakan Umrah dan Haji dengan tidak dihantui rasa was-was dan serta ketidakpastian, maka Alhijaz Indowisata Travel adalah solusi sebagai biro perjalanan anda yang terbaik dan terpercaya.?agenda umroh 12 hari
Biro Perjalanan Haji dan Umrah yang memfokuskan diri sebagai biro perjalanan yang bisa menjadi sahabat perjalanan ibadah Anda, yang sudah sangat berpengalaman dan dipercaya sejak tahun 2010, mengantarkan tamu Allah minimal 5 kali dalam sebulan ke tanah suci tanpa ada permasalahan. Paket yang tersedia sangat beragam mulai paket umroh 9 hari, 12 hari, umroh wisata muslim turki, dubai, aqso. Biaya umroh murah yang sudah menggunakan rupiah sehingga jamaah tidak perlu repot dengan nilai tukar kurs asing. biaya umroh akhir ramadhan Jakarta Utara
MASA PEMERINTAHAN ADITYAWARMAN
Adityawarman bukan raja di Minangkabau, melainkan adalah raja di kerajaan Pagaruyung yang merupakan salah satu periode dari sejarah Minangkabau yang sangat panjang. Agar tidak mendatangkan keraguan kepada kita, maka kerajaan yang diperintahkan oleh Adityawarman kita namai kerajaan Pagaruyung saja.
Untuk mengetahui siapa sebenarnya Adityawarman, perlu kita tinjau kembali hasil dari ekspedisi Pamalayu oleh Kartanegara pada tahun 1275, bukan hasil secara keseluruhan melainkan hasil yang berhubungan dengan asal-usul Adityawarman saja.
Setelah ekspedisi itu berhasil, maka sewaktu rombongan ekspedisi kembali ke Jawa, mereka membawa Dara Jingga dan Dara Petak. Sesampai di Jawa kerajaan Singasari telah diganti oleh kerajaan Majapahit. Maka Dara Petak diambil sebagai selir oleh Raden Wijaya yang menjadi raja pertama kerajaan Majapahit. Dari perkawinan ini nanti akan melahirkan seorang putra yang pada waktunya akan menjadi raja di Majapahit. Puteranya tersebut bernama Jayanegara.
Dara Jingga kawin dengan salah seorang pembesar kerajaan Majapahit dan melahirkan seorang putera yang nama kecilnya. Aji Mantrolot. Aji Mantrolot ini yang kemudian dikenal sebagai Adityawarman. Dengan demikian Adityawarman merupakan keturunan dari dua darah kaum bangsawan, satu darah bangsawan Sumatera dan satu darah bangsawan Majapahit. Raja Majapahit yang kedua yaitu Jayanegara adalah saudara sepupu dari Adityawarman.
Mengenai asal-usul Adityawarman ini, Muhammad Yamin mengatakan bahwa Adityawarman berasal dari tanah Minangkabau di Pulau Sumatera. Tempat lahirnya terletak di Siguntur dekat nagari Sijunjung. Diwaktu muda dia berangkat ke Majapahit, tempat dia dididik disekeliling pusat pemerintahan dalam suasan keraton Majapahit. Kesempatan yang diperdapatnya itu berasal dari turunannya. Ayah bundanya mempunyai hubungan darah dengan permaisuri raja Majapahit yang pertama.
Pendapat Muhammad Yamin mengenai tempat kelahiran Adityawarman dan hubungan kekeluargaannya dengan Kerajaan Majapahit diperkuat oleh Pinoto yang mengatakan, bahwa Adityawarman adalah seorang putera Sumatera yang lahir di daerah aliran Sungai Kampar dan besar kemungkinan dalam tubuhnya mengalir darah Majapahit. Hubungan dengan kerajaan Majapahit bersifat geneologis dan politis.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Adityawarman dilahirkan di Kerajaan Melayu atau Minangkabau dan dibesarkan di Kerajaan Majapahit. Di keraton Majapahit Adityawarman di didik bersama saudara sepupunya Jayanegara yang kemudian menjadi raja Majapahit yang kedua. Di keraton Majapahit kedudukan Adityawarman sangat tinggi, yaitu berkedudukan sebagai salah seorang menteri atau perdana menteri yang diperolehnya bukan saja karena hubungan darahnya dengan raja Majapahit tetapi juga berkat kecakapannya sendiri. Tahun 1325 raja Jayanegara mengirim Adityawarman segbagai utusan ke negeri Cina yang berkedudukan sebagai duta. Bersama dengan Patih Gajah Mada, Adityawarman ikut memperluas wilayah kekuasaan Majapahit di Nusantara. Tahun 1331 Adityawarman memadamkan pemberontakan Sadeng dengan suatu perhitungan yang jitu. Tahun 1332 dia dikirim kembali menjadi utusan ke negeri Cina dengan kedudukan sebagai duta. Pada tahun 1334 Adityawarman pulang kembali ke negeri asalnya. Karena dengan lahir dan menjadi besarnya Hayam Wuruk tidak ada lagi kesempatan bagi Adityawarman utnuk menjujung mahkota kerajaan Majapahit sebagai ahli waris yang terdekat.
Adityawarman adalah cucu dari raja Melayu karena ibunya Dara Jingga adalah anak Tribuana raja Mauliwarmadewa, raja kerajaan Melayu. Oleh karena itu, Adityawarman berhak atas takhta kerajaan Melayu tersebut. Timbulnya keinginan Adityawarman untuk mendirikan kerajaan Melayu yang mandiri, disebabkan karena kegagalan usaha patih Gajah Mada menguasai selat malaka. Pada tahun 1347 Adityawarman menjadi raja kerajaan Melayu yang dipusatkan di Darmasraya. Hal ini dapat dibuktikan dengan prasasti yang dipahatkan pada bagian belakan arca Amogapasa dari Padang Candi. Dalam Prasasti itu Adityawarman memakai nama : “Udayadityawarman Pratakramarajendra Mauliwarmadewa” dan bergelar “Maharaja Diraja” dengan memakai gelar tersebut rupanya Adityawarman hendak menyatakan bahwa dia merupakan raja yang berdiri sendiri dan tidak ada lagi raja yang berada di atasnya. Dengan demikian dia sudah bebas dari Majapahit. Sebagai realisasi dari pernyataan tersebut, maka Adityawarman pada tahun 1349 memindahkan pusat kerajaan dari Darmasraya ke Pagaruyung di Batusangkar.
Selama pemerintahannya Adityawarman berusaha membawa kerajaan Pagaruyung ke puncak kejayaannya. Dalam usaha memajukan kerajaan itu Adityawarman mengadakan hubungan dengan luar negeri, yaitu dengan Cina. Tahun 1357, 1375, 1376 Adityawarman mengirim utusan ke negeri Cina. Selama masa pemerintahannya di Pagaruyung yang berlangsung dari tahun 1349 sampai 1376, kerajaan Pagaruyung berada di puncak kejayaannya. Bahkan dapat dikatakan pada waktu itu Indonesia bagian barat dikuasai kerajaan Pagaruyung dan Indonesia bagian Timur berada di bawah pengaruh kekuasaan Majapahit.
Adityawarman sebagai orang yang dididik dan dibesarkan di Majapahit serta telah pula pernah menjabat beberapa jabatan penting di kerajaan Majapahit, tentulah paham betul dengan seluk beluk pemerintahan di Majapahit. Dengan demikian corak pemerintahan kerajaan Majapahit sedikit banyaknya berpengaruh pada corak pemerintahan Adityawarman di Pagaruyung. Hal ini ternyata pada prasasti yang ditinggalkan Adityawarman terdapat nama Dewa Tuhan Perpatih dan Tumanggung yang oleh Pinoto dibaca Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan.
Menurut Tambo kekuasaan Adityawarman hanya terbatas di daerah Pagaruyung, sedangkan daerah lain di Minangkabau masih tetap berada dibawah pengawasan Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk ketumanggungan dengan pemerintahan adatnya. Dengan demikian di Pagaruyung Adityawarman dapat dianggap sebagai lambang kekuasaan saja, sedangkan kekuasaan sebenarnya tetap berada di tangan kedua tokoh pemimpin adat tersebut, sehingga hal ini menyebabkan kemudian pengaruh budha yang dibawa ke Pagaruyung tidak dapat tempat di hati rakyat Minangkabau, karena prinsipnya rakyat Minangkabau sendiri secara langsung tidak berkenalan dengan pengaruh-pengaruh tersebut. Disamping itu, selama menjadi raja Pagaruyung yang mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau tetap hukum Adat Koto Piliang dan Bodi Caniago. Dalam hal ini Tambo mengatakan bahwa Adityawarman walaupun sudah menjadi raja yang besar, tetap saja merupakan seorang sumando di Minangkabau, artinya kekuasaannya sangat terbatas.
Barangkali hal ini memang disengaja oleh Datuk yang berdua itu, mengingat pada mulanya kekuasaan Adityawarman yang sangat besar sekali. Agar kehidupan masyarakat Minangkabau jangan terpengaruh oleh kebiasaan yang dibawa oleh Adityawarman maka kedua Datuk itu memagarinya dengan pengaturan kekuasaan, Adityawarman boleh menjadi raja yang sangat besar, tetapi kekuasaannya hanya terbatas di sekitar istana saja, sedangkan kekuasaan langsung terhadap masyarakat tetap dipegang oleh mereka. Sesudah meninggalnya Adityawarman yang memang merupakan seorang raja yang besar dan kuat, kekuasaan kerajaan Pagaruyung mulai luntur. Kelihatannya dengan pengaturan yang dilakukan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang berdua dengan Datuk Ketumanggungan tidak memberi kesempatan kepada pengganti Adityawarman yang menganut agama budha untuk berkuasa seterusnya.
Adityawarman sebagai raja Pagaruyung merupakan seorang raja yang paling banyak meninggalkan prasasti. Hampir dua puluh buah prasasti yang ditinggalkannya. Diantaranya yang telah dibaca seperti Prasasti Arca Amogapasa, Kuburajo, Saruaso I dan II, Pagaruyung, Kapalo Bukit Gambak I dan II, Banda Bapahek, dan masih banyak lagi yang belum dapat dibaca.
Diantara yang telah dapat dibaca itu menyatakan kebesaran dan kemegahan kerajaan Pagaruyung, barangkali diantara raja-raja yang pernah ada di Indonesia tidak ada seorang pun yang pernah meninggalkan prasasti sebanyak yang telah ditinggalkan oleh Adityawarman. Sayangnya di Minangkabau kebiasaan seperti itu hanya dilakukan oleh Adityawarman seorang raja. Sebelum dan sesudahnya Adityawarman tidak ada yang membiasakan sehingga sampai sekarang kebanyakan data sejarah Minangkabau agak gelap.
Sesudah Adityawarman meninggal kerajaan Pagaruyung yang tidak lagi mempunyai raja yang merupakan keturunan darah langsung dari Adityawarman. Sedangkan Ananggawarman yang dikatakan dalam salah satu prasasti Adityawarman sebagai anaknya tidak pernah memerintah, karena kekuasaan Adityawarman langsung digantikan oleh Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam. Dari sebutan raja itu saja, kelihatannya sesudah Adityawarman raja yang menggantikannya sudah menganut agama Islam.
Adanya Sultan Bakilap Alam sebagai raja Minangkabau Pagaruyung dijelaskan oleh Tambo Minangkabau. Dengan sudah dianutnya agama Islam oleh pengganti Adityawarman, maka hilang pulalah pengaruh agama Budha yang dianut Adityawarman di Minangkabau.
Sampai dengan pertengahan abad ke-16 sesudah Adityawarman kita tidak memperoleh keterangan yang lengkap mengenai kerajaan Pagaruyung. Rupanya sesudah Adityawarman meninggal, kerajaan Majapahit kembali berusaha untuk menguasai Pagaruyung serata Selat Malaka. Tetapi usaha tersebut gagal kaena angkatan perang kerajaan Majapahit yang datang dari arah pantai timur dikalahkan oleh tentara Pagaruyung dalam pertempuran di Padang Sibusuk tahun 1409.
Akibat pertempuran Padang Sibusuk itu membawa akibat yang sangat besar dalam struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyung selanjutnya. Semasa Adityawarman menjadi raja, pemerintahan bersifat sentralisasi menurut sistem di Majapahit. Tetapi sesudah pertempuran Padang Sibusuk itu, nagari-nagai di Minangkabau membebaskan diri dari kekuasaan yang berpusat di Pagaruyung. MASA PEMERINTAHAN ADITYAWARMAN
Obama Finds a Bolder Voice on Race Issues
As he reflected on the festering wounds deepened by race and grievance that have been on painful display in America’s cities lately, President Obama on Monday found himself thinking about a young man he had just met named Malachi.
A few minutes before, in a closed-door round-table discussion at Lehman College in the Bronx, Mr. Obama had asked a group of black and Hispanic students from disadvantaged backgrounds what could be done to help them reach their goals. Several talked about counseling and guidance programs.
“Malachi, he just talked about — we should talk about love,” Mr. Obama told a crowd afterward, drifting away from his prepared remarks. “Because Malachi and I shared the fact that our dad wasn’t around and that sometimes we wondered why he wasn’t around and what had happened. But really, that’s what this comes down to is: Do we love these kids?”
Many presidents have governed during times of racial tension, but Mr. Obama is the first to see in the mirror a face that looks like those on the other side of history’s ledger. While his first term was consumed with the economy, war and health care, his second keeps coming back to the societal divide that was not bridged by his election. A president who eschewed focusing on race now seems to have found his voice again as he thinks about how to use his remaining time in office and beyond.
At an event announcing the creation of a nonprofit focusing on young minority men, President Obama talked about the underlying reasons for recent protests in Baltimore and other cities.
By Associated Press on Publish Date May 4, 2015. Photo by Stephen Crowley/The New York Times.
In the aftermath of racially charged unrest in places like Baltimore, Ferguson, Mo., and New York, Mr. Obama came to the Bronx on Monday for the announcement of a new nonprofit organization that is being spun off from his White House initiative called My Brother’s Keeper. Staked by more than $80 million in commitments from corporations and other donors, the new group, My Brother’s Keeper Alliance, will in effect provide the nucleus for Mr. Obama’s post-presidency, which will begin in January 2017.
“This will remain a mission for me and for Michelle not just for the rest of my presidency but for the rest of my life,” Mr. Obama said. “And the reason is simple,” he added. Referring to some of the youths he had just met, he said: “We see ourselves in these young men. I grew up without a dad. I grew up lost sometimes and adrift, not having a sense of a clear path. The only difference between me and a lot of other young men in this neighborhood and all across the country is that I grew up in an environment that was a little more forgiving.”
Advertisement
Organizers said the new alliance already had financial pledges from companies like American Express, Deloitte, Discovery Communications and News Corporation. The money will be used to help companies address obstacles facing young black and Hispanic men, provide grants to programs for disadvantaged youths, and help communities aid their populations.
Joe Echevarria, a former chief executive of Deloitte, the accounting and consulting firm, will lead the alliance, and among those on its leadership team or advisory group are executives at PepsiCo, News Corporation, Sprint, BET and Prudential Group Insurance; former Secretary of State Colin L. Powell; Senator Cory Booker, Democrat of New Jersey; former Attorney General Eric H. Holder Jr.; the music star John Legend; the retired athletes Alonzo Mourning, Jerome Bettis and Shaquille O’Neal; and the mayors of Indianapolis, Sacramento and Philadelphia.
The alliance, while nominally independent of the White House, may face some of the same questions confronting former Secretary of State Hillary Rodham Clinton as she begins another presidential campaign. Some of those donating to the alliance may have interests in government action, and skeptics may wonder whether they are trying to curry favor with the president by contributing.
“The Obama administration will have no role in deciding how donations are screened and what criteria they’ll set at the alliance for donor policies, because it’s an entirely separate entity,” Josh Earnest, the White House press secretary, told reporters on Air Force One en route to New York. But he added, “I’m confident that the members of the board are well aware of the president’s commitment to transparency.”
The alliance was in the works before the disturbances last week after the death of Freddie Gray, the black man who suffered fatal injuries while in police custody in Baltimore, but it reflected the evolution of Mr. Obama’s presidency. For him, in a way, it is coming back to issues that animated him as a young community organizer and politician. It was his own struggle with race and identity, captured in his youthful memoir, “Dreams From My Father,” that stood him apart from other presidential aspirants.
But that was a side of him that he kept largely to himself through the first years of his presidency while he focused on other priorities like turning the economy around, expanding government-subsidized health care and avoiding electoral land mines en route to re-election.
After securing a second term, Mr. Obama appeared more emboldened. Just a month after his 2013 inauguration, he talked passionately about opportunity and race with a group of teenage boys in Chicago, a moment aides point to as perhaps the first time he had spoken about these issues in such a personal, powerful way as president. A few months later, he publicly lamented the death of Trayvon Martin, a black Florida teenager, saying that “could have been me 35 years ago.”
Photo
President Obama on Monday with Darinel Montero, a student at Bronx International High School who introduced him before remarks at Lehman College in the Bronx.Credit Stephen Crowley/The New York Times
That case, along with public ruptures of anger over police shootings in Ferguson and elsewhere, have pushed the issue of race and law enforcement onto the public agenda. Aides said they imagined that with his presidency in its final stages, Mr. Obama might be thinking more about what comes next and causes he can advance as a private citizen.
That is not to say that his public discussion of these issues has been universally welcomed. Some conservatives said he had made matters worse by seeming in their view to blame police officers in some of the disputed cases.
“President Obama, when he was elected, could have been a unifying leader,” Senator Ted Cruz of Texas, a Republican candidate for president, said at a forum last week. “He has made decisions that I think have inflamed racial tensions.”
On the other side of the ideological spectrum, some liberal African-American activists have complained that Mr. Obama has not done enough to help downtrodden communities. While he is speaking out more, these critics argue, he has hardly used the power of the presidency to make the sort of radical change they say is necessary.
The line Mr. Obama has tried to straddle has been a serrated one. He condemns police brutality as he defends most officers as honorable. He condemns “criminals and thugs” who looted in Baltimore while expressing empathy with those trapped in a cycle of poverty and hopelessness.
In the Bronx on Monday, Mr. Obama bemoaned the death of Brian Moore, a plainclothes New York police officer who had died earlier in the day after being shot in the head Saturday on a Queens street. Most police officers are “good and honest and fair and care deeply about their communities,” even as they put their lives on the line, Mr. Obama said.
“Which is why in addressing the issues in Baltimore or Ferguson or New York, the point I made was that if we’re just looking at policing, we’re looking at it too narrowly,” he added. “If we ask the police to simply contain and control problems that we ourselves have been unwilling to invest and solve, that’s not fair to the communities, it’s not fair to the police.”
Moreover, if society writes off some people, he said, “that’s not the kind of country I want to live in; that’s not what America is about.”
His message to young men like Malachi Hernandez, who attends Boston Latin Academy in Massachusetts, is not to give up.
“I want you to know you matter,” he said. “You matter to us.”