MAU UMROH BERSAMA TRAVEL TERBAIK DI INDONESIA ALHIJAZ INDO WISATA..?

YOOK LANGSUNG WHATSAPP AJA KLIK DISINI 811-1341-212
 

umroh murah

saco-indonesia.com, Berdasarkan hasil telaah dari Tim Pengamat Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, terpidana kasus narkotika asal Australia, Schapelle Leigh Corby telah mendapat pembebasan bersyarat.

Direktur Eksekutif LKPM (Lembaga Kajian Politik Univ.Prov.Dr. Moestopo), Didik Triana juga mengatakan partai penguasa, yaitu Partai Demokrat, akan terkena "getah" dari sikap pemerintah.

"Masyarakat kita bisa melihat sikap yang tidak tegas dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hal tersebut tentu saja akan dapat berpengaruh terhadap simpati publik terhadap Partai Demokrat pada pemilu 2014," kata Didik, Senin (10/2/2014).

Dia juga telah menilai sikap pemerintah yang tidak komit terhadap pemberantasan narkoba di indonesia. Hal tersebut jauh dari harapan Indonesia bebas dari narkoba. Pembebasan Corby telah terkesan bahwa pemerintah telah memberi sinyal aman bagi bandar narkoba internasional, untuk dapat membuka pasar di Indonesia.

"Sebagai kepala negara, SBY haruslah bersikap komit, apalagi masalah narkoba bisa dibilang permasalahan yang sangat serius. Bisa kita lihat dari jumlah peredarannya dan efek negatifnya yang dari tahun ke tahun jumlahnya sangat meningkat. Saya lihat tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk benar-benar memerangi narkoba," paparnya.

Pembebasan bersyarat untuk Corby telah dinilai akan mencoreng nama Indonesia di mata Internasional.

"Jelas sangat mempermalukan Indonesia di mata dunia, sudah jelas melalui inpresnya SBY sudah sangat tegas menyatakan keseriusannya dalam memerangi narkoba. Tapi pada kenyataanya hal itu berbanding terbalik dari kenyataan dan realitanya. Ibarat ucapan dan tindakan yang tidak sama.

Hal inilah yang saya maksud kasus pembebasan bersyarat corby sama saja mempermalukan negara," tutupnya.


Editor : Dian Sukmawati

PEMERINTAH BEBASKAN CORBY DEMOKRAT AKAN KENA 'GETAHNYA'

WASHINGTON — During a training course on defending against knife attacks, a young Salt Lake City police officer asked a question: “How close can somebody get to me before I’m justified in using deadly force?”

Dennis Tueller, the instructor in that class more than three decades ago, decided to find out. In the fall of 1982, he performed a rudimentary series of tests and concluded that an armed attacker who bolted toward an officer could clear 21 feet in the time it took most officers to draw, aim and fire their weapon.

The next spring, Mr. Tueller published his findings in SWAT magazine and transformed police training in the United States. The “21-foot rule” became dogma. It has been taught in police academies around the country, accepted by courts and cited by officers to justify countless shootings, including recent episodes involving a homeless woodcarver in Seattle and a schizophrenic woman in San Francisco.

Now, amid the largest national debate over policing since the 1991 beating of Rodney King in Los Angeles, a small but vocal set of law enforcement officials are calling for a rethinking of the 21-foot rule and other axioms that have emphasized how to use force, not how to avoid it. Several big-city police departments are already re-examining when officers should chase people or draw their guns and when they should back away, wait or try to defuse the situation

Police Rethink Long Tradition on Using Force

Artikel lainnya »